MOBILITAS SOSIAL DI KOTA BESAR (Studi Kasus: Kota Semarang)

PENDAHULUAN 

Image

Kota adalah suatu himpunan penduduk masal yang tidak agraris, yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar suatu pusat kegiatan ekonomi, pemerintahan, kesenian dan ilmu pengetahuan (Wirjaatmadja, 1985 : 133). Kota mempunyai karakterisasi-karakterisasi yang melekat padanya, dan dapat diamati melalui sistem dan jaringan kehidupan sosial masyarakat.  

Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma adat yang sama-sama di taati dalam lingkungannya. Tatanan kehidupan, norma-norma yang mereka miliki itulah yang menjadi dasar kehidupan sosial dalam lingkungan mereka, sehingga dapat membentuk suatu kelompok manusia yang memiliki ciri kehidupan yang khas. Masyarakat perkotaan yang sering disebut juga urban community. memiliki sifat-sifat serta ciri-ciri kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Perhatian masyarakat perkotaan tidak terbatas pada aspek-aspek seperti pakaian, makanan dan perumahan, tetapi mempunyai perhatian yang lebih luas lagi. Masyarakat perkotaan sudah memandang kebutuhan hidup, artinya tidak hanya sekedarnya atau apa adanya. Hal ini disebabkan karena pengaruh pandangan warga kota sekitarnya.

Kota Semarang merupakan salah satu Kota besar di Pulau Jawa dan merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah. Kota Semarang merupakan kota metropolitan yang telah mengalami berbagai perubahan baik secara fisik, ekonomi, sosial maupun budaya. Semakin meningkatnya kemajuan dalam bidang transportasi, teknologi, pendidikan, lapangan kerja industri, serta modernisasi menjadikan Kota Semarang mudah mengalami mobilitas sosial.

Istilah mobilitas berasal dari kata mobilis (latin) yang artinya bergerak atau berpindah.  Mobilitas sosial merupakan perubahan posisi atau kedudukan orang atau kelompok orang dalam struktur sosial, misalnya dari satu lapisan ke lapisan lain yang lebih atas ataupun lebih bawah, atau dari satu kelompok/golongan ke kelompok/golongan lain. Tipe mobilitas sosial secara prinsipal ada dua, yaitu mobilitas sosial horizontal dan mobilitas sosial vertikal (Sorokin, 1980: 133).

  • Mobilitas horizontal : peralihan individu atau obyek sosial lainnya dari suatu kelompom sosial ke kelompok sosial yang lain yang sederajat.
  • Mobilitas vertikal : perpindahan individu atau obyek sosial dari suatu kedudukan ke kedudukan lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya dibedakan menjadi dua, yaitu naik (social-climbing) dan turun (social-sinking).

Sorokin dan Zimmerman (Smith T. Lynn, 1951: 53) berpendapat bahwa kedua jenis mobilitas sosial ini berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan pembangunan, namun mobilitas vertikal memiliki peranan yang lebih besar, karena :

  • Adanya jabatan-jabatan atau posisi-posisi yang mempermudah orang untuk berpindah secara vertikal baik ke atas maupun ke bawah
  • Perbedaan tingkat fertilitas, yang menyebabkan semakin berkurangnya orang-orang pada kelas atas perkotaan, dan menyebabkan kosongnya “top position” dari piramida sosial, yang selanjutnya dapat menciptakan arus vertikal
  • Perbedaan sifat biologis dan psikologis antara orang tua dan anak-anaknya. Ini lebih jelas terlihat apabila si anak kurang mampu, paling tidak menyamai orang tuanya. Sehingga dirinya tidak mampu untuk mempertahankan level di mana ia dilahirkan,
  • Setiap adanya perubahan lingkungan sosial dan budaya pasti mengarah kepada mobilitas vertikal.

Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa mobilitas sosial vertikal mempunyai saluran-saluran yang disebut social circulation yaitu angkatan bersenjata (tentara), lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, organisasi politik, ekonomi dan profesi, serta perkawinan.

PEMBAHASAN 

Pada dasarnya setiap warga dalam suatu masyarakat mempunyai kesempatan untuk menaikan kelas sosial mereka dalam struktur sosial masyarakat yang bersangkutan. Termasuk dalam masyarakat yang menganut sistem pelapisan yang tertutup. Inilah yang biasa disebut dengan mobilitas sosial. Mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial yang lainnya (Horton & Hunt, 1999). Masyarakat dengan sistem sosial terbuka memilki tingkat mobilitas yang tinggi dibanding masyarakat dengan sistem sosial yang tertutup. Dalam dunia modern seperti sekarang ini, banyak negara mengupayakan peningkatan mobilitas sosial dalam masyarakatnya, karena mereka yakin bahwa hal tersebut akan membuat orang melakukan jenis pekerjaan yang paling cocok bagi diri mereka. Apabila tingkat mobilitas tinggi, meskipun latar belakang sosial individu berbeda, maka mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Apabila tingkat mobilitas sosial rendah, maka tentu saja kebanyakan orang akan terkungkung dalam status para nenek moyang mereka.

Kota Semarang sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang terus mengalami pembangunan. Pembangunan secara fisik menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan kota. Perkembangan dan kemajuan di bidang transportasi, pendirian zona industri, pertanian dan perkebunan serta kerajinan semakin mempercepat perubahan kota baik secara fisik maupun non fisik. Semakin meluasnya jaringan infrastruktur jalan dan kereta api menyebabkan semakin banyak orang melakukan mobilitas sosial.

Selain itu, Karesidenan Semarang sebagai salah satu karesidenan utama di Hindia Belanda, memiliki posisi strategis. Hal ini disebabkan oleh karena Karesidenan Semarang selain sebagai wilayah pengembangan agribisnis, juga disebabkan karena kota Semarang sebagai ibu kota, merupakan pintu gerbang utama bagi lalu lintas ekspor-impor dari dan ke wilayah Jawa Tengah. Tumbuhnya Kota Semarang sebagai kota perdagangan menjadikan daya tarik tersendiri bagi penduduk, baik dari wilayah sekaresidenan maupun dari luar karesidenan. Dengan banyaknya penduduk yang mengadu nasib di berbagai sektor formal maupun informal, maka di Karesidenan Semarang memiliki mobilitas sosial baik yang vertikal maupun horizontal relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan karesidenan lainnya di Jawa Tengah.

Pertumbuhan penduduk juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan kota. Munculnya berbagai jenis lapangan pekerjaan baru sejalan dengan perkembangan Kota Semarang yang pesat, membawa pengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang mencakup pertumbuhan penduduk, pertumbuhan sektor non pertanian, perkembangan struktur kota dan masyarakat serta tingginya arus modernisasi.  Hal ini semua mengakibatkan terjadinya mobilitas sosial yang sangat jelas di Kota Semarang.

Mobilitas sosial di kota-kota besar di Indonesia seperti Kota Semarang merupakan akibat dari sistem sosial yang berlaku di masyarakat perkotaan. Mobilitas sosial di Kota Semarang sudah termasuk tinggi. Mudahnya terjadi mobilitas sosial di Kota Semarang disebabkan karena kebanyakan masyarakat menganggap  status pekerjaan lebih ditekankan pada “gengsi” pekerjaan tersebut. Misalnya, orang lebih menghargai menjadi pegawai negeri daripada wiraswastawan walaupun pendapatan dalam bidang wiraswasta lebih tinggi daripada pegawai negeri. Tetapi karena pekerjaan menjadi pegawai negeri sudah terlanjur memberikan gengsi yang tinggi dan dianggap pekerjaan “white collar”, maka kedudukannya dianggap lebih tinggi dibanding bidang pekerjaan lainnya, yang sering dicap sebagai pekerjaan “blue collar”.

Karena banyaknya jenis pekerjaan di Kota Semarang, penduduk Kota Semarang lebih mudah beralih dari satu status ke status lainnya. Di Kota Semarang, segala sesuatu sudah terkelompok secara profesional menurut jenis pekerjaannya misal guru, dokter, wartawan, pengusaha, buruh bangunan, bahkan juga pedagang kaki lima. Keinginan untuk hidup layak dan mendapatkan posisi atau status lebih tinggi adalah aspek naluriah setiap manusia, karena setiap manusia ingin dihormati sesuai dengan status yang dimilikinya. Dalam masyarakat, semakin tinggi nilai status seseorang, semakin besar pula penghormatan orang terhadap orang itu. Kenaikan dalam jenjang kemasyarakatan ini (social climbing) di kota, hanya dapat dilakukan dengan usaha dan perjuangan pribadi. Perjuangan pribadi artinya kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mencapai status tersebut. Tetapi sebaliknya, seseorang dapat turun kelasnya akibat tindakannya sendiri (misalnya dipecat dari jabatan karena membuat kesalahan). Kondisi seperti ini termasuk dalam kategori mobilitas vertikal, yang sering terjadi pada masyarakat kota Semarang.

            Mobilitas sosial yang terjadi di Kota Semarang adalah mobilitas sosial horizontal an vertikal. Namun, dalam kehidupan masyarakat, mobilitas sosial vertikal lebih banyak terjadi dan banyak ditemukan kasusnya di Kota Semarang. Hal ini dikarenakan kemajuan teknologi yang tinggi serta adanya modernisasi menjadikan gengsi dan status sosial dalam kehidupan masyarakat menjadi hal yang sangat penting. Gengsi atau status sosial seseorang dalam kehidupan masyarakat Kota Semarang sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan dan pekerjaannya. Maka, banyak orang yang berlomba-lomba untuk meningkatkan status sosialnya menjadi lebih baik dan naik keatas dengan melakukan mobilitas sosial vertikal.

  1. a.    Mobilitas Horizontal

Mobilitas horizontal yang terjadi di Kota Semarang  berupa peralihan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Mobilitas horizontal yang banyak terjadi adalah peralihan status pekerjaan. Seorang buruh petani di pinggiran Kota Semarang terutama di Kabupaten Semarang, Kendal, Demak dan Purwodadi pada musim paceklik pindah ke kota untuk bekerja sebagai buruh. Ini disebut sebagai mobilitas horizontal karena tidak terjadi perubahan status dalam kedudukan sosial si petani dalam masyarakat, dan juga tidak terjadi perubahan pendapatan yang signifikan bagi si petani.

Mobilitas horizontal di Kota Semarang juga terjadi karena adanya transformasi pekerjaan. Transformasi pekerjaan yang paling besar adalah dari pekerjaan sebagai petani ke buruh industri, pengusaha atau wiraswasta. Berbeda dengan kasus diatas yang hanya terjadi pada musim panceklik, transformasi ini terjadi setiap saat dan umumnya bersifat permananen. Transformasi ini juga tidak terjadi pada masyarakat pinggiran Kota Semarang, namun pada masyarakat di Kota Semarang itu sendiri. Terjadinya transformasi pekerjaan dari petani menjadi buruh industri atau pengusaha ini terjadi pada mereka yang pada umumnya tidak lagi memiliki lahan sawah atau tegalan karena adanya konversi lahan terbuka menjadi lahan terbangun akibat pembangunan daerah. Selain itu, dengan semakin berkembangnya industri serta perdagangan dan jasa di Kota Semarang, petani banyak yang beralih profesi menjadi buruh industri ataupun pengusaha (terutama pedagang) dan menjadikannya sebagai pekerjaan utama. Kasus mobilitas horizontal transformasi petani menjadi burh industri ini banyak terjadi di Semarang bagian Barat dan Timur karena adanya pengembangan Kota Semarang bagian Barat dan Timur sebagai kawasan industri. Sedangkan transformasi petani menjadi pengusaha (pedagang) banyak di terjadi di Semarang bagian selatan sebagai akibat pengembangan wilayah Semarang bagian selatan sebagai kawasan pendidikan, perdagangan jasa serta permukiman.

Mobilitas sosial horizontal dapat terjadi secara sukarela, dan bisa juga terpaksa, contoh petani yang beralih pekerjaan menjadi buruh adalah terpaksa, sedangkan yang sukarela adalah bila seorang pegawai bank yang anggota pegawai bank yang bosan jadi pegawai dan ingin berkarier sebagai konsultan pajak atau perbankan.

  1. b.    Mobilitas Vertikal

Mobilitas vertikal dapat terjadi secara dua arah yaitu naik dan turun.   Mobilitas sosial vertikal naik (social climbing), dapat berupa masuknya individu dari kedudukan rendah ke kedudukan tinggi serta pembentukan kelompok baru yang derajatnya lebih tinggi. Mobilitas sosial vertikal turun (social sinking), dapat berupa turunnya individu dari kedudukan yang lebih tinggi ke kedudukan yang lebih rendah serta turunnya derajat sekelompok individu karena disintegrasi kelompok (sering disebut sebagai dislokasi sosial).

–     Mobilitas Sosial Vertikal Naik (Social Climbing)

Mobilitas sosial vertikal naik ditunjukkan dengan naiknya kelas atau status sosial seseorang.Di Kota Semarang yang didominasi oleh aktivitas perdagangan dan jasa, serta industri mobilitas sosial jenis ini banyak terjadi. Misal, seorang karyawan yang rajin bekerja kemudian mendapat promosi dan naik jabatan menjadi manajer. Mobilitas sosial vertikal ini juga dapat berupa peralihan mata pencaharian yang awalnya petani menjadi buruh industri atau pengusaha dengan terlebih dahulu mendapat pelatihan sehingga mampu mengembangkan kualitas diri dan keterampilannya. Dengan mengikuti pelatihan terlebih dahulu, kualitas sumber daya manusia petani telah berubah menjadi lebih tinggi. Dengan kemampuannya, ia kemudian mengembangkan diri dan mampu beradptasi dengan baik dalam lingkungan sosialnya yang baru di tempat kerja yang baru. Secara tidak langsung status sosialnya berubah menjadi lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Petani yang telah beralih menjadi buruh industri atau pengusaha yang terampil ini juga memiliki tingkat pendapatan yang berbeda dari teman-temannya yang lain yang masih berprofesi sebagai petani. Maka, dalam lingkungannya, petani ini telah mengalami mobilitas sosial vertikal naik dan memiliki status sosial lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.

–     Mobilitas Sosial Vertikal Turun (Social Sinking)

Mobilitas sosial jenis ini banyak terjadi pada pengusaha-pengusaha besar yang awalnya mengalami kesuksesan lalu terjebak dalam kehidupan sosial yang salah dan berubah menjadi miskin. Contoh: Seorang pengusaha sukses yang terjebak pada pergaulan dengan rekan sejawatnya yang hobi berjudi, dia jatuh bangkrut. Kini yang tersisa hanya baju yang dipakainya. Selain kehilangan harta benda, orang yang mengalami mobilitas jenis ini juga akan kehilangan status atau kedudukan dalam sistem sosial masyarakat yang juga berdampak bagi keluarga dan kerabat dekatnya. Orang yang mengalami ini pada awalnya dianggap baik dan dipandang terhormat oleh orang lain, namun setelah mengalami kebangkrutan akan dipandang rendah. Terleabih jika kebangkrutan tersebut dikarenakan hal-hal yang tidak baik. Sistem sosial masyarakat Jawa yang masih melekat di kehidupan sosial masyarakat Kota Semarang menjadikan kejadian mobilitas sosial seperti ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat.

Selain kedua mobilitas vertikal dan horizontal diatas, juga terdapat mobilitas sosial antar generasi dan intra generasi.

–      Mobilitas sosial antar-generasi adalah mobilitas yang terjadi pada generasi yang berbeda,  misalnya orang tua berkedudukan sebagai petani atau buruh, anak-anaknya menjadi pengajar di perguruan tinggi atau majikan. Contoh mobilitas dalam bentuknya yang demikian banyak terjadi di Kota Semarang. Banyak orang yang akhirnya meninggalkan pekerjaan sebagai petani atau pekerjaan agraris yang lain sebagaimana yang ditekuni oleh para orangtua mereka karena tertarik untuk bekerja di pabrik-pabrik/industri. Atau sebaliknya, orang tuanya sebagai majikan atau pejabat negara, sedangkan anak-anaknya menjadi buruh atau pegawai biasa.

–     Mobilitas intragenerasi yaitu peralihan status sosial yang terjadi dalam satu generasi yang sama. Contoh: dua kakak adik yang bekerja pada perusahaan yang sama. Kakak menjadi direktur dan adik hanya seorang pegawai.

 

Tingginya mobilitas sosial di kota besar seperti Kota Semarang disebabkan karena setiap orang ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan mendapatkan kedudukan atau status sosial yang tinggi dalam sistem sosial masyarakat. Maka, untuk mencapai hal tersebut seseorang berusaha dan bekerja keras, meningkatkan pendidikan, pengetahuan dan ketampilan agar memiliki tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Dalam masyarakat Kota Semarang terdapat suatu campuran antara prestasi dan askripsi, yaitu hubungan timbal balik antara usaha sendiri atau prestasi dan pengaruh keturunan bersifat kompleks dan berubah-ubah. Masyarakat Kota Semarang adalah modern yaitu  masyarakat yang kompleks, dimana keragaman jenis pekerjaan yang berbeda-beda kepentingannya membawa penghasilan yang tidak sama serta kondisi kerja yang tidak sama pula.  Meskipun mobilitas sosial memungkinkan masyarkat untuk mengisi kursi jabatan dengan orang yang paling ahli dan memberikan kesempatan bagi orang untuk mencapai tujuan hidupnya, namun mobilitas sosialpun mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi yang sebenarnya tidak kita inginkan, seperti rasa ketegangan pada pribadi yang berusaha untuk naik status, rasa ketidakpuasan akan kegagalan, sikap angkuh dan sombong atas keberhasilan, rasa khawatir akan turunnya status, dan secara sosial bisa memperlemah solidaritas kelompok sebagai akibat dari dinamika antargolongan sosial dalam masyarakat.

Mobilitas sosial baik secara vertikal dan horizontal di Kota Semarang dapat memberikan manfaat dan juga kerugian. Manfaat yang diperoleh dengan tingginya mobilitas sosial antara lain:

–     Terbukanya kesempatan bagi individu/ masyarakat untuk mengembangkan kepribadiaanya.

–     Status seseorang tidak ditentukan oleh diri sendiri yang didasarkan atas prestasi, kemampuan dan keuletan.  Kesempatan ini mendorong orang untuk mau bersaing, dan bekerja keras agar dapat naik ke strata atas. Contoh: Seorang anak miskin berusaha belajar dengan giat agar mendapatkan kekayaan dimasa depan.

–     Terbukanya kesempatan untuk meraih kehidupan yang lebih baik.

Sedangkan kerugian yang dapat ditimbulkan antara lain:

–     Menimbulkan kecemasan dan ketegangan yang disebabkan karena mobilitas menurun

–     Munculnya kecemasan dan ketegangan sebagai akibat peran baru dari status jabatan yang ditingkatkan.

–     Terjadinya keretakan hubungan antar anggota primer, yang disebabkan karena perpindahan status yang lebih tinggi atau status yang lebih rendah.

–     Munculnya konflik status dan peran, konflik antar kelas sosial, antar kelompok sosial dan antar generasi. Contoh konflik:

  • Konflik antar kelas: demonstrasi buruh yang menuntuk kenaikan upah, menggambarkan konflik antara kelas buruh dengan pengusaha.
  • Konflik antar kelompok sosial: tawuran pelajar, perang antarkampung.
  • Konflik antar generasi: Pergaulan bebas yang saat ini banyak dilakukan kaum muda di Indonesia sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut
    generasi tua.

 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Mobilitas sosial adalah gerakan atau perpindahan individu dari suatu kedudukan ke kedudukan lainnya dalam masyarakat. Kedudukannya yang baru dapat menjadi lebih tinggi atau lebih rendah. Faktor-faktor yang dapat menghambat proses mobilitas sosial yaitu kebudayaan, asal-usul, tradisi, dan keadaan ekonomi. Bentuk-bentuk mobilitas sosial yaitu mobiltas horizontal dan vertical. Mobilitas horizontal merupakan peralihan individu dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Sedangkan mobilitas vertikal adalah perpindahan individu dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang terdiri dari dua macam yaitu mobilitas sosial yang naik dan mobilitas sosial yang turun. Mobiltas antargenerasi adalah mobilitas yang ditandai dengan adanya perkembangan taraf hidup atau status sosial dalam suatu garis keturunan.

Pada lapisan masyarakat tertutup mobilitas vertikal relatif lamban karena kedudukannya sudah ditentukan sejak individu itu dilahirkan. Pada lapisan masyarakat terbuka, kedudukan apa yang hendak dicapai oleh seseorang atau kelompok bergantung pada kemampuan individu itu sendiri. Saluran-saluran mobilitas sosial vertikal antara lain angkatan bersenjata, lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, organisasi politik, dan organisasi ekonomi. Konsekuensi dari adanya mobilitas sosial akan mengakibatkan beberapa kemungkinan terhadap individu dan kelompok. Misalnya, konflik antarkelas sosial, antarkelompok sosial, dan antargenerasi.

Saran

            Dengan tingginya mobilitas sosial di kota besar seperti Kota Semarang yang juga memberikan dampak baik bagi individu, kelompok sosial maupun masyarakat, maka perlu adanya optimalisasi fungsi pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia. Selain itu juga perlu adanya pemerataan dan keadilan untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi masyarakat miskin dan masyarakat yang dianggap memiliki status sosial rendah. Dengan sistem sosial di kota yang bersifat kompleks, maka mobilitas sosial juga dapat memberikan dampak buruk dengan munculnya konflik-konflik sosial. Agar konflik yang terjadi tidak berkepanjangan, merugikan banyak pihak dan menjadikan kehidupan sosial masyarakat menjadi tidak kondusif, maka setiap terjadi konflik sosial perlu adanya pengendalian dan penyelesaian konflik, baik secara mandiri oleh masyarakat maupun dengan bantuan stakeholder yaitu pemerintah, aparat, pemuka dan tokoh masyarakat secara cepat dan tepat.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Karsidi, Ravik, 1999. Kajian Keberhasilan Transformasi Pekerjaan dari Petani ke Pengrajin Industri Kecil (Disertasi Doktor Institut Pertanian Bogor), tak diterbitkan.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar. Raja Graffindo Persada:Jakarta.

Soeryo, Djoko dan C.Santi Puji Utami. 2000. Perdagangan Suatu Bentuk Kehidupan Ekonomi Kota. Tesis Program Studi Sejarah Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Wirjaatmadja, Soekandar. 1985. Pokok-pokok Sosiologi Pedesaan. Yasaguna: Jakarta.

            

By Yulistiani Julis

Leave a comment