DUALISME INDUSTRIALISASI SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH (STUDI KASUS: KAWASAN INDUSTRI PALUR KABUPATEN KARANGANYAR)

PENDAHULUAN

Industrialisasi di Indonesia berkembang pesat pada masa Orde Baru pada tahun 1960 hingga 1990an. Hal ini sejalan dengan adanya revolusi industri dan perkembangan paradigma baru dalam strategi pengembangan wilayah berupa growth pole (kutub pertumbuhan) yang berbasis industri. Industrialisasi diarahkan pada pusat-pusat wilayah sebagai leading industri yang diharapkan dapat memberikan trickling down effect dan spread effect bagi sektor lain dan wilayah hinterlandnya.

Pembangunan industri di Indonesia dilakukan melalui penetapan kawasan industri sedang dan besar. Pembangunan industri saat itu dianggap penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyerap tenaga kerja. Perkembangan industri terutama di arahkan di Pulau Jawa, termasuk di Propinsi Jawa Tengah. Salah satu kabupaten yang mempunyai potensi industri yang cukup tinggi adalah Kabupaten Karanganyar di Provinsi Jawa Tengah  adalah Kabupaten Karanganyar.

Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu kabupaten yang termasuk dalam Wilayah Perkotaan Surakarta, dan Kota Surakarta itu sendiri merupakan pusat pertumbuhan bagi Wilayah Pembangunan IV Jawa Tengah. Salah satu daerah yang diarahkan sebagai kawasan industri di Kabupaten Karanganyar adalah adalah Kecamatan Jaten, berupa kawasan industri Palur. Kawasan Industri Palur merupakan salah satu kawasan industri yang perkembangannya sangat pesat. Sektor industri yang ada di kawasan industri Palur mempunyai distribusi yang cukup tinggi terhadap perekonomian Kabupaten Karanganyar dengan sumbangannya terhadap PDRB sebesar 37,41%. Selain itu, kawasan industri ini juga menyerap tenaga kerja yang sangat banyak dari Kabupaten Karangnyar hingga wilayah Subosukowonosraten.

Kawasan industri Palur mampu meningkatkan petumbuhan ekonomi wilayah dan menyerap tenaga kerja. Selain itu, industri ini juga menjadi leading industri dan memberikan multiplier effect bagi sektor lain. Hal ini dapat dilihat dari adanya pengembangan kawasan industri baru di Kecamatan Gondangrejo. Kawasan Industri Palur juga mendorong perkembangan aktivitas urbanisasi sehingga mengembangkan sektor permukiman dan perdagangan jasa. Dengan adanya kawasan industri Palur ini juga menjadikan Kecamatan Jaten yang awalnya berupa wilayah pedesaaan mengalami urbanisasi menjadi perkotaan.

Meskipun banyak memberikan dampak positif, namun kawasan Industri Palur dalam perkembangannya banyak menimbulkan efek negatif.  Selain menjadi footloose industri, perkembangan kawasan industri Palur juga mengancam eksistensi pertanian di wilayah sekitarnya. Footloose industri terjadi karena kawasan industri Palur tidak memiliki keterkaitan dengan wilayah disekitarnya. Pengembangan industri yang diharapkan dapat menjadi trickling down effect justru menjadi backwash effect yaitu berupa penyerapan sumber daya dari wilayah hinterlandnya. Akibatnya terjadi proses urbanisasi bagi wilayah industri dan sekitarnya yang dapat mengakibatkan pergeseran sektor primer (pertanian) menjadi industri. Selain itu, perkembangan industri yang  semakin pesat menyebabkan kesenjangan karena wilayah industri sebagai pusat pertumbuhan dengan wilayah hinterlandnya yang  semakin tertinggal.. Untuk itulah tulisan ini berupa menjelaskan mengenai dualisme industrialiasi sebagai strategi pengembangan wilayah, dengan studi kasus kawasan industri Palur.

INDUSTRIALISASI SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH

Konsep industrialisasi muncul pada abad ke-18 berawal dari revolusi industri di Inggris. Industrialisasi ini ditandai dengan penemuan metode baru dalam menciptakan spesialisasi produksi dan peningkatan produktivitas dari faktor produksi. Sejak revolusi industri, konsep pembangunan sering disamakan dengan industrialisasi. Menurut UU No.5 Tahun1984, industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, bahan setengah jadi atau barang jadi menjadi barang dengan nilai lebih tinggi untuk penggunaanya. Sedangkan industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi, produksi, dan perdagangan yang pada akhirnya meningkatnya pendapatan masyarakat serta mendorong perubahan struktur ekonomi.

Sebagai strategi pengembangan wilayah, industri memiliki tujuan dalam pengembangan wilayah, antara lain:

  • Untuk mendorong dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah dan nasional
  • Untuk pemerataan pembangunan wilayah
  • Untuk mendukung pengembangan wilayah hinterland (trickling down effect)
  • Mambuka peluang kerja luas dan penyerapan tenaga kerja tinggi

Namun dalam kenyataannya, tujuan-tujuan tersebut sulit untuk diterapkan, terutama di Indonesia.  Tujuan yang sulit dicapai dalam industrialisasi di Indonesia yaitu berupa pemerataan pembangunan dan trickling down effect. Sulitnya penerapan tujuan ini secata umum dikarenakan kondisi Indonesia yang memiliki karekteristik wilayah dan sosial budaya yang heterogen. Selain itu juga terdapat wilayah yang memiliki keterbatasan potensi sumber daya, infrastruktur  dan juga produktivitas tenaga kerja.

Pemerataan pembangunan tidak berhasil karena industri cenderung beraglomerasi di daerah-daerah dimana potensi dan kemampuan daerah tersebut memenuhi kebutuhan mereka, dan mereka mendapat manfaat akibat lokasi perusahaan yang saling berdekatan. Aglomerasi industri ini dapat berupa kawasan industri, sentra industri, klaster industri maupun industrial distric. Pembentukan aglomerasi ini terutama mengangkut infrastruktur dan efisiensi ekonomi untuk biaya produksi. Untuk itulah di Indonesia pengembangan industri disuatu wilayah terutama industri besar sebagian besar ditempatkan pada wilayah-wilayah dengan ketersediaan tenaga kerja tinggi dan aksesibilitas, sehingga sebagian besar pengembangan industri di lakukan di Pulau Jawa karena Pulau Jawa memiliki konsentrasi penduduk yang lebih tinggi dan ketersediaan infrastruktur sangat memadai dibandingkan wilayah Indonesia lainnya terutama Indonesia bagian Timur. Akibatnya, industrialisasi di Pulau Jawa berkembang sangat pesat.

Industrialisasiyang seharusnya dapat memberikan trickling down effect (efek penetesan) bagi wilayah sekitarnya juga tidak berhasil dan malah menjadi backwash effect (efek penghisapan). Hal ini dikarenakan sebagian besar industri yang dikembangkan berupa footloose industry yaitu industri yang berdiri sendiri dan tidak memiliki keterkaitan dengan wilayah sekitarnya. Hal ini terjadi karena adanya dualisme ekonomi yaitu wilayah urban dengan industri dan wilayah rural yang umumnya pertanian. Akibatnya, terjadi kecenderungan urbanisasi dari wilayah hinterland yang sulit berkembang dan memilih sektor industri karena lebih menguntungkan. Akibatnya wilayah urban menjadi pusat perkotaan yang sangat besar dan banyak menghisp sumber daya dari wilayah hinterland terutama sumber daya tenaga kerja.

Jadi, industrialisasi memiliki peran penting dalam pengembangan wilayah karena dapat meningkatkan petumbuhan ekonomi wilayah. Namun, sebagian besar stratgei industrialisasi ini tidak dapat dilaksanakan karena masing-masing wilayah memiliki karekteristik berbeda, industrialisasi tidak dapat diterapkan di semua wilayah. selain itu, pengembangan industrialisasi yang salah berupa footloose industry di suatu wilayah justru memberikan efek negatif bagi wilayah hinterlandnya. Untuk itulah pengembangan suatu industri harus memperhatikan potensi wilayah yang akan dikembangkan.  

PERKEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI PALUR

Kawasan  industri Palur merupakan sebuah kawasan industri terbesar diantara kawasan-kawasan industri yang terletak di kabupaten-kabupaten yang termasuk dalam Wilayah Pembangunan VIII ( SWP VIII) yang terdiri dari Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Wonogiri, Klaten , Boyolali, Sragen dan Karanganyar. Secara administratif lokasi kawasan industri ini berada di Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar.  Lokasi kawasan industri ini sangat strategis karena berada pada lokasi yang menghubungkan antara Kota Surakarta, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sragen. Kawasan industri ini mencakup lima Desa, yaitu Desa Dagen, Ngringo, Jetis, Sroyo dan Brujul. Dikawasan Industri Palur terdapat 61 industri berupa industri makanan, tekstil, bijih plastik, kantong plastik,tikar plastik, plat besi, gas elpiji, printing.

Image 

Industri Palur memberikan kontribusi yang cukup tinggi bagi Kabupaten Karanganyar dalam sisi ekonomi. Selain itu, kawasan industri ini juga memberikan dmapak bagi perkembangan sektor lain seperti sektor perdagangan, jasa dan angkutan, yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan membuka lapangan kerja bagi penduduk sekitar.

Pemilihan Palur sebagai kawasan industri itu didasarkan atas 2 hal yaitu:  

  1. Transportasi dan Distribusi

Palur merupakan salah satu kawasan strategi yang memudahkan distribusi. Hal ini didukung dengan adanya jalan arteri dan jalan kolektor. Jalan arteri ini menghubungkan kota-kota di Jawa Tengah dan kota-kota di jawa Timur sehingga memudahkan dalam memasarkan hasil produksi ke Semarang, Surabaya, dan Jakarta yang merupakan jalur gerbang utama keluar masuk bahan baku dan barang industri yang bersifat regional, nasional maupun internasional.

  1. Tenaga Kerja

Wilayah di sekitar Palur merupakan wilayah yang banyak memiliki tenaga kerja lokal baik yang berasal dari Kabupaten Karanganyar wilayah sekitarnya seperti Subosukowonosraten. Kawasan Industri Palur banyak menyerap tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya commuter dari luar Karanganyar. Banyaknya tenaga kerja ini dikarenakan banyaknya jenis industri berat Selain itu, mayoritas kebutuhan SDM untuk industri Palur adalah lulusan SMA dimana deaerah Subosukowonosraten memang memiliki mayoritas penduduk dengan level pendidikan setaraf SMA.

Dalam perkembangannya, Palur terlah menjadi kawasan perkotaan. Hal ini ditandai semakin berkembangnya lahan terbangun terutama untuk industri, permukiman serta perdagangan jasa. Kawasan industri dan permukiman Palur juga mulai berkembang ke wilayah lain disekitarnya seperti di Kecamatan Gondangrejo dan Kebakkramat. Selain itu juga muncul permukiman dan perdagangan jasa baru yang menghubungkan kedua kecamatan tersebut.

DUALISME PERKEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI PALUR

Industrialiasi merupakan salah satu bentuk strategi growth pole dalam pengembangan wilayah. Pengembangan industri diarahkan pada wilayah-wilayah tertentu sebagai pusat pertumbuhan. Hal ini didasarkan fakta dasar perkembangan keruangan (spasial) menurut Ferroux (1955), bahwa pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak namun pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub perkembangan dengan intensitas yang berubah-ubah dan pertumbuhan itu menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka ragam terhadap keseluruhan perekonomian.

Pengembangan kawasan industri Palur pada awalnya memang hanya berupa arahan peruntukkan kawasan industri karena lokasi Palur yang strategis dari aspek transportasi serta tenaga kerja. Tujuan utama pengembangan kawasan industri Palur yaitu untuk menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi wilayah Subosukowonosraten. Namun, ada hal yang dilupakan dalam pengembangan industri di Palur yaitu  linkage atau keterkaitan dengan wilayah hinterlandnya serta urbanisasi. Pengembangan kawasan industri Palur tidak mempertimbangkan jenis industri apa yang harus dikembangkan sehingga industri yang berdiri tidak terkait dengan sumber daya yang ada di Kabupaten Karanganyar berupa pertanian.

Pengembangan kawasan industri Palur juga kurang mempertimbangkan efek urbanisasi baik berupa mobilitas penduduk maupun berupa proses perkotaan. Padahal kawasan industri Palur yang terletak di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar pada awalnya merupakan kawasan pinggiran kota Surakarta dengan sektor basis pertanian. Bahkan kawasan industri Palur pada awalnya juga merupakan lahan pertanian produktif yang kemudian diubah menjadi kawasan industri.

Memang pengembangan kawasan industri Palur banyak memberikan dampak positif terutama dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Karanganyar dan Subosukowonosraten serta penyerapan tenaga kerja produktif. Namun, dalam perkembangannya karena kurang adanya pengawasan dan pengendalian, pengembangan industri Palur ini justru banyak menimbulkan dampak negatif terutama terkait dengan perkembangan sektor pertanian.

Sektor industri dan pertanian memang tidak dapat setara atau seimbang. Industri selalu membutuhkan pertanian terutama sebagai penyedia bahan baku industri dan juga kebutuhan primer pekerja industri. Dan sektor pertanian tidak selalu bergantung pada sektor industri. Namun, dalam kenyataannya, perkembangan sektor pertanian sering diabaikan dan lebih mengutamakan sektor industri karena mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara cepat. Selain itu, meskipun sektor pertanian memiliki peran yang sangat penting namun hasil produksi pertanian sangat rendah dibandingkan dengan hasil produksi industri. Hal inilah yang mendorong sektor pertanian semakin diabaikan. Terlebih dengan semakin berkembangnya kawasan industri mendorong kawasan sekitarnyayang didominasi pertanian mengalami pergeseran menjadi non pertanian baik secara spasial, ekonomi maupun sosial.

Dualisme industrialisasi di Palur Kabupaten Karanganyar memang terjadi karena tidak adanya keseimbangan perkembangan antara sektor pertanian dengan sektor industri. Kecenderungan yang terjadi adalah sektor pertanian semakin terabaikan sementara sektor industri semakin berkembang. Dualisme industrilasasi antara sektor industri dengan pertanian yang terjadi di Palur  dapat ditinjau dari tigas aspek yaitu lahan, hasil produksi, dan tenaga kerja. 

Image

Sumber: Analisis, 2013

Gambar Dualisme Perkembangan Industri Dan Pertanian Di Palur

  1. Lahan

Mulai terabaikannya sektor pertanian ini pada awalnya ditandai dengan adanya konversi lahan  pertanian untuk kawasan industri. Konversi lahan ini terjadi karena adanya aglomerasi dan urbanisasi. Aglomerasi berupa kecenderungan industri untuk berkumpul di Palur dan sekitarnya. Salah satu contohnya adalah berkembangnya industri di Kecamatan Gondangrejo. Sama halnya dengan kecamatan lain, pada awalnya Gaondanrejo juga merupakan lahan pertanian. Namun, melihat perkembangan industri Palur yang pesat maka di Kecamatan Gondangrejo juga mulai dilakukan pengembangan industri. Akibatnya terjadi juga alih fungsi lahan pertanian di Gondangrejo.

Ditinjau dari urbanisasi, konversi lahan di kawasan Palur dan sekitarnya terjadi karena adanya migrasi penduduk terutama pekerja di kawasan Palur sehingga kawasan industri Palur dan sekitarnya. Semakin berkembangnya industri, maka lahan yang dibutuhkan juga semakin meningkat bukan hanya lahan untuk kawasan industri, namun juga untuk keperluan pekerja terutama permukiman serta perdagangan dan jasa. Akibatnya terjadi alih fungsi lahan pertanian untuk kawasan industri di Palur dan juga alih fungsi lahan menjadi permukiman serta perdagangan dan jasa di wilayah sekitar Palur. Dengan semakin berkembangnya kawasan Palur juga mengubah kawasan Palur dan wilayah sekitarnya terutama Kecamatan Jaten mengalami perubahan sifat menjadi perkotaan. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya lahan terbangun yang bukan hanya untuk industri serta permukiman dan perdagangan jasa untuk pekerja, namun juga berkembang sektor-sektor lain yang lebih bersifat terseier seperti hiburan dan mall.

        Image  Image

Sumber : http://www.google.com

Gambar Pergeseran Lahan Pertanian menjadi Kawasan Industri Palur

 

  1. Hasil Produksi

Suatu industri pasti cenderung mengembangkan skala sektor industri untuk meningkatkan hasil produksi. Akibatnya terjadi konversi lahan yang menyebabkan produktivitas pertanian menurun. Selain itu, nilai jual hasil produksi industri yang umumnya berupa pengolhan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai jual hasil pertanian yang rendah dan sering tidak stabil. Akibatnya banyak masyarakat di Kabupaten Karanganyar yang melakukan konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri karena menganggap industri lebih menguntungkan dibandingkan pertanian.

  1. Tenaga kerja

Pengembangan industri yang lebih menguntungkan dibandingkan pertanian akhirnya mendorong penduduk bergeser mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor industri. Selain itu, semakin berkurangnya lahan pertanian serta banyaknya kesempatan kerja di luar pertanian terutama industri yang dianggap lebih menjanjikan. Tenaga kerja bersedia pindah ke sektor industri karena mereka dapat menerima upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan upah di sektor pertanian. Akibatnya jumlah petani semakin menurun. Jumlah  petani di Kecamatan Jaten sendiri telah menurun dari 36,36% di tahun 2000 menjadi 26,97 di tahun 2010 (Pemkab Karanganyar, 2010).

Selain masalah dualisme industrialiasi dari ketiga aspek diatas, industri di Palur juga berpengaruh terhadap lingkungan dan secara tidak langsung mempengaruhi sektor pertanian. Sebagian besar industri yang ada di kawasan industri Palur adalah industri pengolahan yang menghasilkan limbah terutama limbah kimia. Karena kurangnya IPAL yang memadai, maka akibatnya limbah industri ini mencemari lingkungan terutama sungai. Padahal sungai-sungai yang ada di Kabupaten Karanganyar berfungsi sebagai sumber air untuk pertanian.

Dengan luas lahan, produktivitas dan tenaga kerja yang menurun, maka sektor pertanian dapat mengalami kemunduran sementara sektor industri semakin berkembang. Padahal sektor pertanian memiliki peran yang sangat penting bagi pengembangan wilayah karena sektor pertanian berfungsi sebagai ketahanan pangan dan bahan baku industri. Jika perkembangan industri Palur tidak diawasi, maka kecenderungan yang terjadi yaitu terjadi perkembangan industri ke wilayah lain di sekitarnya dan dapat mengurangi potensi pertanian yang ada.

KESIMPULAN

            Industrialisasi merupakan salah satu strategi pengembangan wilayah berupa growth pole yang diharpkan dapat memberikan efek penetesan bagi wilayah sekitarnya dan juga multiplier effect bagi sektor lain. Namun, di Indonesia industrialiasi yang terjadi justru menimbulkan dualisme terutama terkait pengembangan industri dan pertanian, seperti yang terjadi di kawasan industri Palur, Kabupaten Karanganyar. Kabupaten Karangangnyar merupakan wilayah yang didominasi oleh sektor pertanian. Namun, kawasan industri yang berkembang di Palur merupakan footloose industry yang tidak terkait dengan sumberdaya yang ada di Kabupaten Karanganyar yaitu pertanian namun mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak.

Kecenderungan yang terjadi di Palur dan sekitarnya adalah sektor industri semakin berkembang namun sektor pertanian mulai diabaikan. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan konversi lahan pertanian untuk industri, permukiman serta perdagangan dan jasa, serta pergeseran mata pencaharian penduduk dari pertanian menjadi non pertanian. Padahal sektor pertanian memiliki peranan penting, terutama sebagai ketahanan pangan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Hillhorst, J. (1998) Industrialization And Local/Regional Development Revisited. Development and Change, 29, 1-26.

Novia, Arum. (2011) Analisis Lokasi Kawasan Peruntukan Industri Palur, Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Negeri Surakarta.

Nuryadin, Didi et al. (2007) “Agglomerasi Dan Pertumbuhan Ekonomi : Peran Karakteristik Regional Di Indonesia”dalam Parallel Session IVA : Urban & Regional,  Fakultas Ekonomi UPN”Veteran” YK.

.Maharani, Hesti. (2003) Identifikasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian  Menjadi Lahan Industri (Studi Kasus : Zona Industri Palur Kabupaten Karanganyar), Skripsi Jurusan Perencanaan Wilayah Dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang. 

By Yulistiani Julis

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN PADA DAERAH RAWAN BENCANA DI KABUPATEN MAGELANG

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan wilayah yang sering terjadi bencana alam. Berbagai bencana alam yang sering terjadi antara lain seperti banjir, gempa bumi, tsunami, gerakan tanah, angin kencang, kebakaran hutan, dan lain-lain. Bencana alam yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan kerugian antara lain berupa korban jiwa, harta benda dan material yang cukup besar. Bencana juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan ekosistem alam. Potensi terhadap terjadinya bencana untuk saat ini dan masa yang akan datang masih cukup besar dan mungkin akan bertambah jenisnya. Bencana alam ini selain terjaid karena factor alam seperti pergeseran lempengan bumi yang menjadi sumber gempa dan juga gerakan tanah pada wilayah tertentu terutama pada daerah perbukitan dengan lereng yang curam juga terjadi karena ulah manusia yang tidak peduli terhadap kelestarian alam seperti pengaruh perubahan penggunaan lahan dari lahan hutan atau pertanian menjadi kawasan permukiman, maupun penentuan lokasi kawasan permukiman yang tidak sesuai. Jumlah penduduk yang semakin bertambah membawa konsekuensi pada bertambahnya permasalahan yang akan dihadapi. Salah satu permasalahan yang merupakan akibat secara langsung berkaitan dengan pertumbuhan maupun persebaran penduduk adalah masalah perumahan dan permukiman. Selain itu, dengan semakin bertambahnya penduduk dan berkembangnya ekonomi suatu wilayah juga menjadi penyebab bertambahnya aktivitas permukiman pada wilayah- wilayah tertentu bahkan pada wilayah yang tidak sesuai. Keberadaan kawasan permukiman pada lahan yang tidak sesuai ini semakin menambah resiko bencana alam. Seperti halnya yang terjadi di Kabupaten Magelang. Kabupaten Magelang merupakan salah satu daerah rawan bencana alam seperti tanah longsor, gempa, dan gunung meletus. Bencana alam ini terjadi selain karena banyak wilayah perbukitan dengan kondisi tanah yang labil, termasuk dalam wilayah erupsi gunung berapi, dan rawan gempa bumi karena wilayahnya termasuk dalam lempeng selatan, yakni lempeng Indo-Australia yang selalu bergerak ke arah utara sekitar 4 – 6 cm per tahun. Bencana alam yang terjadi di Kabupaten Magelang semakin meningkat dengan semakin meningkatnya aktivitas yang merusak alam dan pembukaan lahan untuk kegiatan yang tidak sesuai peruntukannya. Permasalahan Perkembangan Kabupaten Magelang yang semakin pesat memberikan dampak pada peningkatan kebutuhan lahan untuk sarana permukiman dan beraktivitas lainnya. Hal ini mendorong berkembanganya aktivitas pada kawasan yang tidak sesuai peruntukkannya sebagai kawasan permukiman. Penggunaan  lahan yang tidak sesuai dan tingginya intensitas aktifitas manusia dalam mengubah tata guna lahan akan mempertinggi tingkat resiko pada daerah rawan bencana tanah. Keadaan ini terus saja berlangsung karena rendahnya tingkat kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah disamping lemahnya implementasi kebijakan terhadap pengawasan pembangunan dan perkembangan permukiman di kawasan yang tidak sesuai. Pemerintah Kabupaten Magelang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sudah berupaya membatasi pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana terhadap kegiatan budidaya lahan permukiman. Dalam RTRW yang telah disusun tersebut dinyatakan bahwa daerah rawan bencana difungsikan sebagai kawasan lindung. Namun kenyataannya, masih ada pemanfaatan lahan sebagai kawasan permukiman di daerah rawan bencana dan pemerintah daerah belum dapat menerapkan kebijakan tersebut secara optimal, hal tersebut dikarenakan sebagian besar penduduk sudah lama bermukim di daerah rawan bencana bahkan sudah ada yang turun-temurun. Untuk intulah diperlukan evaluasi kesesuaian lahan permukiman pada daerah rawan bencana di Kabupaten Magelang agar dapat diketahui persebaran permukiman pada lahan yang tidak sesuai terutama pada daerah rawan bencana agar resiko bencana alam yang terjadi di Kabupaten Magelang dapat diminimalisir. Selain itu, evaluasi ini juga dapat dijadikan acuan dalam mitigasi kesiapsiagaan bencana pada permukiman di daerah yang rawan bencana agar tidak mengakibatkan kerugian yang besar. Tujuan dan Sasaran Tujuan laporan ini yaitu untuk mengevaluasi kesesuaian lahan permukiman pada daerah rawan bencana di Kabupaten Magelang. Adapun sasaran untuk mencapai tujuan tersebut antara lain:

  1. Identifikasi kawasan permukiman di Kabupaten Magelang
  2. Identifikasi daerah rawan bencana di Kabupaten Magelang
  3. Evaluasi kesesuaian lahan permukiman pada daerah rawan bencana di Kabupaten Magelang

GAMBARAN UMUM KABUPATEN MAGELANG

Kondisi Geografis dan Administratif

Kabupaten Magelang secara geografis termasuk dalam Propinsi Jawa Tengah yang berada pada posisi 70 19’ 33’’ – 70 42’ 13’’ LS dan 1100 02’ 41’’ – 1100 27’ 8’’ BT. Luas wilayah Kabupaten Magelang adalah 108.753 Ha atau sekitar 3.34 % dari luas Propinsi Jawa Tengah. Wilayah Kabupaten Magelang secara administratif berbatasan dengan : Sebelah Utara    : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang Sebelah Selatan : Kabupaten Purworejo dan Propinsi DIY. Sebelah Timur   : Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali Sebelah Barat    : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo Kabupaten Magelang terdiri atas 21 kecamatan, yang dibagi lagi atas 370 desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan Kabupaten Magelang berada di Kecamatan Mungkid. Berikut peta administrasi Kabupaten Magelang. Image Kondisi Fisik Alam Topografi Wilayah Kabupaten Magelang merupakan daerah dengan topografi beragam. Daerah topografi datar memiliki luas 8.599 ha, daerah yang bergelombang seluas 44.784 ha, daerah yang curam 41.037 ha dan sangat curam 14.155 ha dengan ketinggian wilayah antara 0 – 3.065 m di atas permukaan laut, ketinggian rata-rata 360 m di atas permukaan laut. Wilayah Kabupaten Magelang secara topografi merupakan dataran tinggi yang berbentuk menyerupai cawan (cekungan) karena dikelilingi oleh 5 (lima) gunung yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh. Kondisi ini menjadikan sebagian besar wilayah Kabupaten Magelang merupakan daerah tangkapan air sehingga menjadikan tanah yang subur karena berlimpahnya sumber air dan sisa abu vulkanis. Persebaran kelerengan di Kabupaten Magelang dapat dilihat pada peta berikut. Image Klimatologi Kabupaten Magelang mempunyai iklim yang bersifat tropis dengan dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, dengan temperatur udara 20˚ C – 27˚ C. Kabupaten Magelang mempunyai curah hujan yang cukup tinggi. Hal ini menyebabkan banyak terjadi bencana tanah longsor di beberapa daerah pegunungan dan lereng gunung. Image  Jenis tanah Wilayah Kabupaten Magelang di bagian  tengah merupakan tanah endapan/alluvial yang merupakan lapukan dari batuan induknya. Endapan aluvial menempati satuan geomorfik dataran aluvial di sepanjang sungai-sungai yang besar yaitu sungai Progo dengan cabang-cabangnya yang mengalir di wilayah Kecamatan Salaman sampai Kecamatan Borobudur. Endapan aluvial sangat baik sebagai batuan akuifer (penyimpan air tanah) sekaligus sebagai penghasil pasir dan batu.Sedangkan di lereng dan kaki gunung merupakan tanah endapan vulkanis. Jenis tanah di Kabupaten Magelang sebagian besar latosol dan regosol, sebagian lainnya adalah andosol, litosol, dan aluvial. Rata-rata mempunyai kedalaman efektif tanah yang cukup 30 – 90 cm. ImagePenggunaan Lahan Penggunaan lahan di Kabupaten Magelang sebagian besar adalah sawah dan ladang/tegalan. Luasnya penggunaan lahan untuk sawah dan ladang/tegalan ini sesuai dengan potensi alam yang dimiliki Kabupaten Magelang berupa lahan yang subur. ImageKondisi Permukiman Kawasan permukiman di Kabupaten Magelang menyebar hampir di seluruh kawasan secara merata. Untuk kepadatan permukiman dapat dikategorikan dalam kepadatan rendah, sedang dan tinggi. Kawasan permukiman dengan kepadatan rendah menyebar di bagian tengah Kabupaten Magelang, semakin ke pinggir wilayah Kabupaten, kepadatan permukiman semakin menurun. Hal ini dikarenakan kawasan datar dna landau Kabupaten Magelang berada di bagian tengah dan bagian pinggir merupakan kawasan pegunungan. ImageDaerah Rawan Bencana Kabupaten Magelang merupakan kawasan dengan kelerengan yang relative landai hingga curam. Keseluruhan wilayah di Kabupaten Magelang merupakan wilayah yang memiliki kerawanan bencana, baik dari tingkat rendah hingga tingkat tinggi. Bahkan juga terdapat daerah yang berbahaya dan terlarang. Image Bencana yang sering terjadi di Kaupaten Magelang antara lain tanah longsor dan erupsi merapi. Tanah longsor hamper terjadi hamper di seluruh wilayah Kabupaten Magelang baik berupa longsor kecil maupun longsor besar yang menimbulkan kerugian material dan menelan korban jiwa. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), 9 kecamatan dan 375 Desa di Kabupaten Magelang memiliki potensi rawan longsor. Tingkat kerawanan yang tinggi berada di wilayah Kecamatan Kajoran, Salaman, dan Borobudur. Image Selain bencana tanah longsor, Kabupaten Magelang juga rawan terhadap erupsi gunung. Hampir seluruh wilayah di Kabupate Magelang di kelilingi oleh gunung berapi sehingga beresiko pada terkena limpasan erupsi. Limpasan erupsi gunung berapi yang berbahayabagi penduduk adalah pada aliran lahar dan lava. Oleh sebab itu, kawasan yang dilalui oleh aliran lahar dan lava ini termasuk dalam daerah berbahaya.   Image

METODE ANALISIS

             Analisis evaluasi kesesuaian lahan permukiman pada daerah rawan bencana di Kabupaten Magelang dilakukan menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG).

Kerangka Analisis Analisis yang dilakukan berdasarkan atas tiga tahapan yaitu input, proses dan output. Adapun input untuk evaluasi kesesuaian lahan adalah peta curha hujan, jenis tanah dan kelerengan yang dianalisis dan diperoleh peta kesesuaian lahan. Peta kesesuaian lahan selanjutnya di jadikan input dan dianalisis dengan peta rawan bencana menghasilkan peta kelas kesesuaian lahan permukiman. Peta ini selanjutnya menjadi input dan dianalisis dengan peta persebaran permukiman untuk selanjutnya di evaluasi kesessuaian lahan permukiman yang ada. ImageMetode Analisis Analisis yang digunakan untuk evaluasi kesesuian lahan permukiman ini adalah Spatial analysis dalam software . teknik yang digunakan adalah overlay peta dan skoring. Overlay peta yaitu teknik dengan mengkombinasikan beberapa layer untuk memperoleh informasi dari beberapa data yang digabungkan. Sistem skoring merupakan metode yang digunakan dalam menentukan kesesuaian lahan dengan menggunakan skor kesesuaian lahan. Analisis Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lahan diperoleh dari hasil overlay peta kelerengan, curah hujan dan jenis tanah. Untuk menentukan kelas kesesuaian lahan sesuai peruntukannya digunakan skoring. Skoring total kesesuaian lahan merupakan penjumlahan dari skor kelas lerang, curah hujan dan jenis tanah. Berikut nilai skornya.

Tabel

Kelas Lereng dan Nilai Skor

No

Kelas

Lereng (%)

Deskripsi

Skor

1

I

0-2

Datar

20

2

II

2-15

Landai

40

3

III

15-25

Agak curam

60

4

IV

25-45

Curam

80

5

V

>45

Sangat curam

100

Sumber :SK Menteri Kehutanan No. 837/UM/II/1980 dan No.  683/KPTS/UM/1981

Tabel II. 8

Intensitas Curah Hujan Rata-rata dan Skor

No

Interval (mm/tahun)

Deskripsi

Skor

1

0-2000

Sangat rendah

10

2

2000-2500

Rendah

20

3

2500-3000

Sedang

30

4

3000-3500

Tinggi

40

5

>3500

Sangat tinggi

50

Sumber : SK Menteri Kehutanan No. 837/UM/II/1980 dan No.  683/KPTS/UM/1981  

Tabel II.9

 Tabel Kelas Tanah Menurut Kepekaan Erosi dan Nilai Skor

No

Kelas

Jenis Tanah

Deskripsi

Skor

1.

I

Alluvial, Tanah Gley, Planosol, Hidromorf, kelabu, Laterit Air Tanah

Tidak peka

15

2.

II

Latosol

Kurang peka

30

3.

III

BrownForest, Nonn Caltic Brown, Mediterania

Peka

45

4.

IV

Andesol, Lateric, Grumosol, Podsol, podsotic

Peka

60

5.

V

Rebosol, Litosol, Organosol, Renzina

Sangat peka

75

      Sumber :SK Menteri Kehutanan No. 837/UM/II/1980 dan No.  683/KPTS/UM/1981   Dari tabel tiga faktor skor, kita dapat mengetahui skor dari ketiga tersebut, maka ketiga skor yang telah diketahui dijumlah untuk menetapkan kesesuaian lahan suatu kawasan tertentu untuk kawasan budidaya, penyangga dan pelindung. Adapun skor total untuk kesesuaian lahan tersebut adalah sebagai berikut.

Tabel II. 10

Kriteria dan Tata Cara Penetapan Kawasan Lindung dan Budidaya

No.

Fungsi Kawasan

Total Nilai Skor

1.

Kawasan Lindung

> 175

2.

Kawasan Penyangga

125-174

3.

Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan

< 125

4.

Kawasan Tanaman Semusim

< 125

5.

Kawasan Permukiman

< 125

Sumber : SK Menteri Kehutanan No. 837/UM/II/1980 dan No. 683/KPTS/UM/1981   Analisis Kesesuaian Lahan Permukiman Dari hasil skoring dan diperoleh kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya, penyangga dan lindung selanjutnya di overlay dengan kawasan rawan becana untuk mendapatkan kesesuaian lahan untuk permukiman. Terdapat 6 kelas dalam kesesuaian lahan untuk permukiman yaitu 3 kelas untuk lahan yang sesuai  (S) dan tidak kelas untuk lahan tidak sesuai (N). Kelas kesesuaian lahan permukiman ini merupakan penggabungan antara kelas kesesuaian lahan dan kelas rawan bencana. Adapun untuk kelas kesesuaian lahan terdapat tiga berdasarkan hasil analisis sebelumnya yaitu budidaya, penyangga dan lindung. Sedangkan kelas rawan bencana ada ena yaitu tidak ada bencana, rawan bencana rendah, sedang, tinggi, berbahaya dan terlarang. Adapun kriteria yang digunakan untuk menentukan masing-masing kelas kesesuaian lahan permukiman adalah sebagai berikut.

Tabel II.9

Kelas Kesesuaian Lahan Permukiman

Kelas Kesesuaian Lahan Permukiman

Keterangan

Kelas Kesesuaian Lahan

Kelas Rawan Bencana

S1

Sesuai Untuk Permukiman

Budidaya

Tidak ada

S2

Sesuai Untuk Permukiman Hambatan Rendah

Budidaya

Rendah

S3

Sesuai Untuk Permukiman Hambatan Sedang

Budidaya

Penyangga

Sedang

Tidak Ada

N1

Sesuai Untuk Permukiman Hambatan Tinggi

Budidaya

Penyangga

Tinggi

Rendah

N2

Hampir Tidak Sesuai Untuk Permukiman

Budidaya

Penyangga

Berbahaya

Sedang

N3

Tidak Sesuai Untuk Permukiman

Budidaya

Penyangga

Lindung

Terlarang

Tinggi, Bahaya, Terlarang

Tidak Ada, Rendah, Sedang, Tinggi, Bahaya, Terlarang

Sumber: Peraturan Bappeda, 

ANALISIS DAN PEMBAHASAN 

Secara umum evaluasi kesesuaian lahan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kesesuaian lahan permukiman di Kabupaten Magelang khususnya untuk peruntukan kawasan permukiman. Evaluasi kesesuaian lahan permukiman didasarkan atas 4 (empat) parameter yaitu intensitas curah hujan, kelerengan, jenis tanah dan daerah rawan bencana. Untuk analisis yang dilakukan ada dua yaitu analisis kesesuian lahan dan dilanjutkan dengan analisis kesesuaian lahan permukiman. Berikut hasil dan pembahasannya.

Kesesuaian Lahan Kabupaten Magelang

Langkah awal dalam evaluasi ini adalah melakukan pemetaan kesesuaian lahan Kabupaten Magelang. Peta kesesuaian lahan ini diperoleh dari hasil overlay peta curah hujan, kelerengan dan jenis tanah. Dari hasil analisis ini diperoleh tiga kelas kesesuaian lahan yaitu kawasan budidaya, kawasan penyangga dan kawasan lindung. 

Image

Dari hasil peta diatas, dapat diketahui bahwa persebaran kawasan budidaya yaitu kawasan yang diperbolehkan untuk kegiatan dan aktivitas terbangun terutama permukiman menyebar di bagian tengah Kabupaten Magelang. Pola persebarannya berada pada satu kesatuan. Hal ini menunjukkan bhawa dari kelas keleregan, jenis tanah dan curah hujan hanya wilayah tengah Magelang yang sesuai. Selanjutnya ke wilayah pinggiran mendekati kawasan pegunungan merupakan sedangkan untuk kawasan lindung hanya berada di sekitar kawasan pegunungan. Luas kawasan budidaya dan kawasan penyangga hampir sama. Sednagkan kawasan lindung hanya sebagian kecil dari luas wilayah yang ada.

 Kesesuaian Lahan Permukiman Kabupaten Magelang

Untuk kawasan permukiman merupakan aktivitas yang sesuai pada kawasan budidaya. dari peta kesesuaian lahan ini selanjutnya dioverlay dengan peta kawasan rawan bencana yang meliputi kawasan rawan bencana rendah, sedang, tinggi, daerah berbahaya hingga daerah terlarang sehingga diperoleh kelas kesesuaian lahan permukiman.

Hasil evaluasi kesesuaian lahan permukiman di Kabupaten Magelang menunjukkan bahwa terdapat 5 kelas kesesuaian lahan permukiman. Kelas kesesuaian lahan permukiman meliputi kelas S2, S3, NI, N2, N3. Kelas S2 merupakan lahan yang sesuai untuk permukiman dengan hambatan ringan,  kelas S3 yaitu merupakan lahan yang sesuai untuk permukiman dengan hambatan sedang, kelas N1 merupakan lahan yang sesuai untuk permukiman dengan hambatan tinggi, kelas N2 merupakan lahan yang hampir tidak sesuai untuk kawasan permukiman dan kelas N3 yaitu lahan yang sangat tidak sesuai apabila dimanfaatkan. Dari hasil analisis di Kabupaten Magelang tidak terdapat kelas S1 yaitu lahan yang sesuai untuk permukiman tanpa hambatan. Hal ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Magelang seluruh lahan rawan bencana baik itu dari rendah hingga tinggi, bahaya dan daerah terlarang.

Berikut tabel kesesuaian lahan permukiman di Kabupaten Magelang. 

Tabel

Luas dan Lokasi Kesesuaian Lahan Permukiman di Kabupaten Magelang

No.

Kelas Kesesuaian Lahan Permukiman

Luas (Ha)

Lokasi

1.

S2

 

Kec. Grabag, Kec. Ngablak, Kec. Secang, Kec. Windusari, Kec. Kelangkrik, Kec. Kajoran, Kec. Tempuran, Kec. Salaman, Kec. Martoyudan, Kec. Bandongan, Kec. Magelang Utara, Kec. Tegalrejo, Kec. Candimulyo, Kec. Pakis, Kec. Sawengan, Kec. Salam, Kec. Mungkid

2.

S3

 

Kec. Borobudur, Kec. Martoyudan, Kec. Salaman, Kec. Salam, Kec. Tempuran

3.

N1

 

Kec. Grabag, Kec. Ngablak, Kec. Pakis, Kec Sawengan, Kec. Dukun, Kec. Srumbung, Kec. Salam, Kec. Borobudur, Kec. Salaman, Kec. Kajoran, Kec. Kajangkrik, Kec. Windusari, Kec. Bandongan, Kec. Muntilan, Kec. Muntilan

4.

N2

 

Kec. Candimulyo, Kec. Mungkid Kec. Bandongan, Kec. Magelang Selatan, Kec. Kajangkrik, Kec. Salaman, Kec. Salam, Kec. Borobudur

5.

N3

 

Kec. Grabag, Kec. Ngablak, Kec. Pakis, Kec. Dukun, Kec. Srumbung, Kec. Muntilan, Kec. Salam, Kec. Borobudur, Kec. Salaman, Kec. Tempuran, Kec. Kajoran, Kec. Kajangkrik, Kec. Windusari, Kec. Bandongan

Sumber: Analisis Penyusun, 2013

Image

Dari hasil analisis kesesuaian lahan dapat diketahui bahwa lahan yang sesuai untuk kawasan permukiman di Kabupaten Magelang adalah lahan dengan kelas kesesuaian S2 dan S3.

Lahan yang Sesuai Untuk  Permukiman

Di Kabupaten Magelang, lahan yang sesuai untuk kawasan permukiman tersebar di bagian tengah wilayah. Hal ini sesuai dengan karakteristik wilayah tengah Kabupaten Magelang yang merupakan daerah lembah yang relative landai dengan resiko bencana rendah. Sebagian besar wilayah di bagian tengah ini sesuai untuk permukiman dengan kelas S2, yang artinya terdapat sedikit factor penghambat karena merupakan daerah rawan bencana rendah. Factor penghambat untuk antara lain  berupa daerah rawan longsor ringan. Kecamatan yang merupakan wilayah kelas S2 dengan luas terbesar adalah Kecamatan Secang, Ngablak, Candimulyo, Magelang Utara, Magelang Selatan dan Tegalrejo.

Selanjutnya, untuk kelas S3 yaitu sesuai untuk permukiman namun memiliki factor penghambat sedang berupa rawan bencana sedang dan hanya sebagian kecil dari wilayah Kabupaten Magelang yaitu lebih ke bagian selatan yaitu di kecamatan Martoyudan, Borobudur dan Salaman. Pada kawasan kecamatan ini dari hasil analisis kesesuian lahan merupakan kawasan budidaya, namun juga merupakan kawasan dengan rawan bencana sedang. Bencana yang sering terjadi di wilayah ini adalah banjir yang sering datang sewaktu- waktu karena banyaknya limpasan air dari daerah atas di sekitarnya terutama pada saat musim penghujan.

Lahan yang Tidak Sesuai Untuk Permukiman

Semakin ke pinggiran wilayah Kabupaten Magelang merupakan wilayah dengan resiko bencana lebih tinggi karena merupakan wilayah pegunungan sehingga kelerengan lebih tinggi dan resiko bencana lebih tinggi pula terutama longsor dan erupsi gunung. Sehingga pada daerah pinggiran Kabupaten Magelang lebih mengarah pada kelas NI, N2 dan N3 yaitu lahan yang tidak sesuai.

Dari hasil analisis, kelas N1 merupakan bagian dari kawasan budidaya namun memiliki rawan bencana tinggi dan kawasan penyangga dengan resiko bencana rendah. Untuk kelas N1 ini meskipun masih dapat dijadikan kawasan permukiman namun merupakan kawasan yang mendekati tidak sesuai karena tingginya factor penghambat. Sebagian besa kawasan ini merupakan kawasan dengan resiko bencana tinggi seperti tanah longsor besar yang banyak menimbulkan kerugian secara material dan lingkungan. Kawasan kelas ini dapat dijadikan permukiman dengan tindakan lebih lanjut untuk meminimalisir bencana.

Kawasan dengan kelas N1 ini sebagian besar berada di Kecamatan Mungkid, Muntilan, Salam, Pakis, Dukun, Sawangan, dan Ngluwar. Pada kawasan yang seharusnya tidak sesuai ini banyak tersebar kawasan permukiman dengan kepadatan tinggi dan sedang. Untuk lahan pada kelas N1 diperbolehkan untuk kawasan permukiman namun, memiliki tingkat resiko bencana yang tinggi sehingga perlu adanya upaya kelestarian lingkungan dan lahan lebih lanjut  agar resiko bencana dapat diminimalisir dan dapat mengurangi factor penghambat kesesuaian lahan untuk permukiman.

Untuk kelas N2, yaitu kawasan yang hamper tidak sesuai untuk lahan permukiman hanya sebagian kecil dari luas wilayah Kabupaten Kebumen. Kawasan dengan kelas ini sebagian besar tersebar di Kecamatan Bandongan ,Candimulyo dan Mungkid. Kawasan ini merupakan kawasan penyangga dengan rawan bencana tinggi terutama longsor dan erupsi gunung berapi. Kawasan ini masih berada pada jalur limpasan lahar dingin dan lava gunung berapi yang berada di Kabupaten Magelang. Untuk itulah kawasan ini tidak diperbolehkan sebagai kawasan permukiman karena memiliki resiko bencana tinggi. Pada kawasan kelas N2 yang tidak diperbolehkan untuk permukiman ini ternyata terdapat kawasan permukiman dengan kepadatan sedang.

Sedangkan untuk kelas N3, yaitu kawasan yang tidak boleh untuk lahan permukiman menyebara dibagian pinggir mendekati kawasan pegunungan yang merupakan kawasan penyangga dengan rawan bencana berbahaya dan terlarang serta kawasan lindung. Dari fungsi kawasannya, kawasan inimemang tidak sesuai untuk lahan permukiman karena bukan merupakan kawasan budidaya. kawasan ini banyak tersebar di Kecamatan Pakis, Kec. Dukun, Kec. Muntilan, Kec. Borobudur, Kec. Tempuran Kec. Kajangkrik, dan Kec. Windusari. Kawasan ini memiliki resiko bencana alam tinggi seperti erupsi merapi dan tanah longsor. Untuk di Kecamatan Muntilan sendiri merupakan kawasan yang dilalui oleh banjir lahar dingin gunung Merapi. Oleh sebab itu, kawasan ini tidak diperbolehkan untuk permukiman.

Adanya permukiman di kelas N2 ini harus segera direlokasi agar tidak menimbulkan bahaya bagi penduduk dan kerugian jika terjadi bencana. Jika sulit untuk direlokasi karena sudah merupakan kawasan permukiman turun temurun maka dapat dilakukan pelestarian lingkungan dan mitigasi bancana sejak dini agar kerugian yang ditimbulkan tidak besar.

Namun, dilihat dari peta persebaran kawasan permukiman, pada kawasan kelas N3 ini terdapat kawasan pemukiman dari mulai kepadatan rendah hingga tinggi. Di Kecamatan Muntilah kawasan ini merupakan kawasan permukiman kepadatan tinggi. Kawasan permukiman pada kelas N3 ini merupakan kawasan permukiman yang harus segera di relokasi. Selain karena lahan yang digunakan tidak sesuai peruntukannya juga merupakan kawasan berbahaya dan dapat menimbulkan kerugian besar jika terjadi bencana.

 KESIMPULAN

 Kesesuaian lahan permukiman sleain dapat dianalisis dengan kelas kesesuaian lahan yaitu lahan yang berada di kawasan budidaya juga dapat di analisis dengan mempertimbangkan daerah rawan bencana. Kabupaten Magelang merupakan wilayah yang seluruhnya rawan terhadap bencana mulai dari rnedah, sednag tinggi, berbahay hingga terlarang. Adanya kerawanan bencana ini tentu sangat berpengaruh pada kesesuaian lahan untuk permukiman. Dari hasil analisis, terdapat lima kelas kesesuianan yaitu S2, S3, N1, N2, dan N3 yang berarti terdapat lahan yang sesuai dan tidak sesuai untuk permukiman.

Dengan membandingkan persebaran permukiman dengan kelas kesesuaian lahan, dapat diketahui bahwa banyak kawasan permukiman yang berada pada lahan yang tidak sesuai peruntukkannya untuk permukiman, terutama pada lahan di kelas N2 dan N3 yang merupakan daerah berbahaya dan daerah terlarang. Bahkan terdapat kawasan ada kelas N2 da N3 yang merupakan kawasan permukiman dengan kepadatan tinggi. Kawasan permukiman pada kelas lahan ini sebisa mungkin direlokasi agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar baik secara material maupun lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

 

Anonim. 2008. Wilayah Magelang Bencana Rawan Longsor. http://www.arthagrahapeduli.org/index.php?option=com_content&view=article&id=291%3Awilayah-magelang-bencana-rawan-longsor&catid=42%3Atanah-longsor&Itemid=55&lang=in

_________2013. Sembilan Kecamatan di Magelang Rawan Longsor. http:// jogja.tribunnews.com/2013/01/07/sembilan-kecamatan-di-magelang-rawan-longsor/.

_________2013. Ratusan Desa di Magelang Rawan Bencana Longsor. http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/13/01/07/mg9fzt-ratusan-desa-di-magelang-rawan-bencana-longsor

__________2006. Masalah Peta Wilayah Rawan Bencana. 11 oktober http://www.suaramerdeka.com/harian/0610/11/ked14.htm

By Yulistiani Julis

PENGEMBANGAN SISTEM DRAINASE BERKELANJUTAN DI KAWASAN SEKITAR KAMPUS UNDIP TEMBALANG

Pendahuluan

Pembangunan kampus UNDIP di Tembalang membawa dampak yang besar terhadap aktivitas  dan kehidupan masyarakat di wilayah sekitarnya. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan guna lahan menjadi kawasan permukiman serta perdagangan dan jasa. Perubahan guna lahan kawasan sekitar Kampus UNDIP Tembalang berkembang pesat pada tahun 2010, akibat adanya perpindahan  kampus Universitas Diponegoro dari Pleburan ke Tembalang. Namun, pesatnya perubahan guna lahan menjadi lahan terbangun untuk permukiman serta perdagangan dan jasa yang terjadi di kawasan sekitar  Kampus UNDIP Tembalang ini tidak memperhatikan fungai lahan sebagai resapan air serta tidak diimbangi dengan penyediaan infrastruktur yang memadai, salah satunya drainase.

Samandikun (2004:60) menyatakan bahwa hampir sebagian besar masyarakat di sekitar kampus UNDIP Tembalang sejak kehadiran kampus UNDIP Tembalang sejak tahun 1990-an telah melanggar ketentuan pembangunan, terutama KDB yang berarti lahan terbuka untuk peresapan dalam satu kapling bangunan sangat terbatas. Akibatnya, air hujan langsung mengalir ke saluran drainase sehingga debit limpasan dan run off (air larian) akan meningkat. Selain itu, semakin pesatnya perubahan guna lahan untuk permukiman serta perdagangan dan jasa yang tidak didukung dengan manajemen pembuangan limbah padat dan limbah cair yang baik, mengakibatkan banyaknya pembuangan limbah ke saluran sehingga menyebabkan penyumbatan dan pencemaran. Semakin meningkatnya lahan terbangun untuk permukiman dan jasa, juga mengakibatnya tingkat erosi semakin meningkat dan mempengaruhi sedimentasi saluran. Akibatnya, drainase tidak mampu menampung limpasan air sehingga akan menyebabkan genangan dan banjir.

Selain menyebabkan permasalahan lokal, permasalahan drainase di kawasan sekitar Kampus UNDIP Tembalang juga dapat menimbulkan masalahah di kawasan Semarang Bawah.  Hal ini dikarenakan kawasan sekitar Kampus UNDIP Tembalang merupakan bagian wilayah Semarang atas yang berfungsi sebagai kawasan resapan untuk mengurangi limpasan air ke wilayahnya di bawahnya. Adanya perubahan guna lahan untuk permukiman serta perdagangan dan jasa juga dapat menambah potensi timbulnya erosi di hulu sungai yaitu Kawasan Sekitar Kampus Tembalang dan sedimentasi serta banjir pada kawasan hilir yaitu kawasan Semarang Bawah. Oleh karena itu diperlukan adanya kajian menganai permsalahan sistem drainase, sampak bagi masyarakat serta solusi dalam menangani permsalahan drainase di kawasan sekitar kampus UNDIP Tembalang.

Permasalahan Sistem Drainase Di Kawasan Sekitar Kampus Undip Tembalang

Kawasan sekitar Kampus UNDIP Tembalang merupakan bagian Kota Semarang yang berada di BWK IV dan BWK VIII yang letaknya di bagian selatan Kota Semarang. Kawasan sekitar Kampus UNDIP Tembalang mencakup dua kecamatan yaitu Kecamatan Tembalang dan Kecamatan Banyumanik. Secara geografis kawasan Tembalang terletak pada koordinat 110016’20-110030’29 BT dan 6055’34- 7007’04 LS (Pemkot Semarang, 2010).

Image

Sumber: Bappeda, 2010

Peta Kawasan Sekitar Kampus UNDIP Tembalang

Drainase di kawasan sekitar Kampus UNDIP Tembalang telah tersedia yaitu drainase primer berupa saluran yang menampung air hujan dan limbah berupa Sungai Seketak/Krengseng serta drainase sekunder berupa saluran yang menampung air/ limbah dari saluran sekunder yang terdapat disebelah kanan-kiri jalan utama/ jalan raya dan bangunan. Drainase ini selain berfungsi untuk mengurangi limpasan air yang berasal dari air hujan, limbah domestik rumah tangga serta limbah perdagangan dan jasa,  juga berfungsi untuk mengurangi limpasan air ke wilayah di bawahnya terutama limpasan air di sub DAS Pengkol dan Sub DAS Babon Hilir.

Pada perencanaan sistem drainase di kawasan sekitar Kampus UNDIP Tembalang seharusnya memperhatikan perkembangan kota. Karena sesuai prinsipnya drainase berfungsi mengurangi limpasan air agar tidak terjadi genangan. Kawasan sekitar kampus UNDIP Tembalang saat ini merupakan kawasan yang rawan genangan terutama saat musim penghujan. Meskipun genangan yang ditimbulkan masih skala kecil, namun hal ini harus diperhatikan agar tidak memberikan dampak yang lebih luas. Adapun permasalahan sistem drainase di kawasan sekitar kampus UNDIP Tembalang dapat dilihat pada bagan berikut.

Image

Pembangunan saluran drainase kawasan sekitar Kampus UNDIP Tembalang yang ada kurang memperhatikan volume air limbah rumah tangga dan air hujan. Selain itu juga, masalah drainase adalah pembangunan saluran terkait topografi alam yang konturnya berkelerengan tidak sama. Pengembangan kegiatan perumahan di kawasan sekitar Kampus UNDIP Tembalang pada akhirnya meningkatkan koefisien air larian (run off).

Selain itu, untuk kawasan permukiman asli penduduk, sebagian besar tidak memiliki saluran drainase sehingga air hujan maupun limbah domestic langsung mengalir ke halaman ataupun ke tanah. Sedangkan di beberapa kawasan permukiman yang telah tersedia saluran drainase tidak terawat dengan baik sehingga mengalami sedimentasi. Akibatnya limpasan air ke saluran utama yaitu saluran drainase di tepi jalan utama semakin meningkat sehingga limpasan air ke sungai juga semakin meningkat.  

Kondisi saluran drainas yang ada di kawasan sekitar Kampus UNDIP Tembalang juga belum terintegrasi dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari adanya pembangunan perumahan- perumahan baru yang tidak menyediakan saluran drainase atau membengun saluran tanpa memperhatikan kondisi yang saluran yang telah ada. Tidak tersedianya saluran drainase yang baik yaitu yang tidak terintegrasi satu sama lain dan terjadi penyumbatan saluran dapat menyebabkan genangan. 

Image

Gambar  Genangan Air di Kawasan Permukiman Kelurahan Tembalang

Dampak Permasalahan Sistem Drainase Bagi Masyarakat

            Permasalahan sistem drainase berupa genangan jika dibiarkan saja akan memberikan dampak bagi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak yang ditimbulkan antara lain:

  1. Penurunan kualitas kesehatan masyarakat  

Adanya genangan dapat meningkatkan sumber penyakit bagi masyarakat. Dengan banyaknya genangan terutama di saluran drainase yang tersumbat di kawasan sekitar kampus UNDIP Tembalang menyebabkan kualitas kesehatan penduduk mengalami penurunan. Dari data kesehatan menunjukkan bahwa dari tahun ketahun kasus DB di kawasan sekitar kampus UNDIP Tembalang terus mengalami peningkatan.

  1. Kerusakan Aset dan Infrastruktur

Adanya genangan dapat menyebabkan asset dan infrastruktur cepat mengalami kerusakan infrastruktur yang banyak mengalai kerusakan di kawasan sekitar kampus UNDIP Tembalang adalah jalan. Karena kurang memadainya saluran drainase dan banyaknya cekungan seperti cekungan jalan di depan Graha Estetika Kelurahan Pedalangan, menjadikan terjadi genangan di jalan. Akibatnya, jalan di sekitar kawasan sering mengalami kerusakan.

  1. Penurunan kualitas Lingkungan

Adanya genangan dan sistem drainase yang kurang baik dapat menyebabkan terjadinya pencemaran air permukaan dan air tanah. Pencemaran air tanah ini terjadi karena beberapa kawasan tidak memiliki saluran drainase yang memadai. Selain itu, sistem drainase yang ada di kawasan sekitar kampus UNDIP Tembalang merupakan sistem drainase campuran yang berfungsi untuk mengalirkan air hujan dan lair limbah. Akibatnya, terjadi pencemaran air di saluran drainase skeunder yang akhirnya juga menyebabkan pencemaran air sungai sebagai saluran drainase primer. Padahal, air sungai  Seketokdi kawasan Tembalang dialirkan ke  sungai Babon dan menjadi bahan baku air bersih bagi sebagaian masyarakat di Kecamatan Tembalang. Dismaping itu, jika air limbah tidak dapat teralirkan ke saluran drainase, akan langsung mengalami peresapan ketanah. Akibatnya, sumber air tanah akan mengalami pencemaran.

  1. Banjir kiriman ke semarang bawah

Tingginya perubahan guna lahan di kawasan sekitar kampus UNDIP Tembalang menyebabakan  tingginya tutupan lahan dan berkuranya resapan air. Akibatnya, debit limpasan air meningkat baik itu di saluran drainase sekunder maupun saluran drainase primer berupa Sungai Seketak. Padahal air yang ada di sungai Seketak pada akhirnya akan mengalir ke Sungai Babon dan Sungai Banjir Kanal Barat di Semarang Bawah. Dengan meningkatnya debit air di sungai Seketak, maka debit air di Sungai Babon dan Banjir Kanal Barat juga akan mengalami peningkatan dan dapat menyebabkan tejadinya banjir kiriman di Semarang Bawah seperti di Kecamatan Genuk dan Gayamsari.

 Pengembangan Sistem Drainase Berkelanjutan Di Kawasan Sekitar Kampus Undip Tembalang

Permasalahan dainase di kawasan sekitar kampus UNDIP Tembalang dapat diatasi dengan pegembangan sistem drainase berkelanjutan. Konsep dasar pengembangan sistem drainase yang berkelanjutan adalah meningkatkan daya guna air, meminimalkan kerugian, serta memperbaiki dan konservasi lingkungan. Sampai saat ini perancangan drainase didasarkan pada filosofi bahwa air secepatnya mengalir dan seminimal mungkin menggenangi daerah layanan. Tapi dengan semakin timpangnya perimbangan air ( pemakaian dan ketersediaan ) maka diperlukan suatu perancangan draianse yang berfilosofi bukan saja aman terhadap genangan tapi juga sekaligus berasas pada konservasi air (Suripin, 2004).

 Konsep sistem drainase berkelanjutan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara fisik maupun non fisik. Secara fisik, konsep sistem drainase yang berkelanjutan prioritas utama kegiatan harus ditujukan untuk mengelola limpasan permukaan dengan cara mengembangkan fasilitas untuk menahan air hujan. Salah satu sistem drainase berkelanjutan yang cocok diterapkan di kawasan sekitar Kampus Undip Tembalang adalah dengan membuat sumur resapan. Sedangkan secara non fisik yaitu dengan mengembangan partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi sumber daya air berkelanjutan.

  1. Pengembangan Sumur Resapan

Sumur resapan cocok di terapkan di kawasan sekitar Kampus UNDIP Tembalang karena kawasan Tembalang pada dasarnya merupakan wilayah hulu kota Semarang yang diarahkan sebagai kawasan resapan air. Namun, dengan adanya perkembangan aktivitas pendidikan dan semakin meningkatnya lahan terbangun, fungsi resapan air semakin mengalami penurunan. Dan sumur resapan ini merupakan metode untuk mengembalikan fungsi kawasan tembalang sebagi daerah resapan air sehingga dapat mengurangi limpasan air ke Semarang Bawah. 

Image

Gambar  Sumur Resapan

Sumur resapan merupakan sumur atau lubang pada permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan agar dapat meresap ke dalam tanah. Sumur resapan digali dengan kedalaman di atas muka air tanah, sedangkan sumur air minum digali lebih dalam lagi atau di bawah muka air tanah. Fungsi utama dari sumur resapan ini adalah sebagai tempat menampung air hujan dan meresapkannya ke dalam tanah. mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah.

Pengembangan partisipasi masyarakatDi kawasan sekitar Kampus UNDIP Tembalang sumur resapan dapat dilakukan secara komunal maupun secara individu pada setiap kapling bangunan. Sumur resapan komunal dapat diterapkan pada kawasan yang snagat padat dan sulit mencari lahan kosong untuk pembuatan sumur seperti di Kelurahan Tembalang. Sedangkan untuk kawasan dengan kepadatan sedang seperti Sumurboto, Ngesrep dan Bulusan dapat menerapkan sistem individu di masing-masing kapling rumah. 

Dalam pengembangan sistem drainase berkelanjutan perlu adanya partisipasi masyarakat baik dalam pembangunan maupun pemeliharaan. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan maka dapat menciptakan rasa memiliki masyarakat terhadap drainase dalam hal ini di kawasan skeitar kampus UNDIP Tembalang adalah sumur resapan.  Jika telah timbul rasa memiliki masyarakat, maka secara tidak langsung masyarakat akan terus menjaga dan mengelola secara swadana. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan sumur resapan harus dilakukan dari awal hingga akhir yaitu mulai dari perencanaan, implementasi hingga monitoring dan evaluasi.

–          Perencanaan, perlu adanya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan sumur resapan karena pada akhirnya pemilik lahan, pambuatan dan pengelolaan dilakukan masyarakat. Dengan adanya keterlibatan dalam perencanaan, pembuatan sumur resapan dapat disesuaiakan dengan kondisi lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat.

–          Implementasi. Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses pembuatan sumur resapan untuk menimbulkan rasa memiliki.

–          Monitoring dan evaluasi. Partisipasi masyarakat dalam monitoring dan evaluasi berupa pemeliharaan sumur resapan yang telah dibuat.

Partisipasi masyarakat juga diperlukan dalam pengelolaan dan pemeliharaan saluran drainase. Hal ini dilakukan agar masyarakat memiliki kesadaran untuk memelihara saluran drainase yang ada dilingkungan sekitar tempat tinggal sehingga saluran drainase tidak mengalami penyumbatan dan sedimentasi. Selain itu juga perlu adanya kesadaran dalam pengelolaan limbah domestic agar tidak membuang limbah domestik ke saluran yang sama dengan air hujan. Jika hal ini  dilakukan, maka dapat mencegah pencemaran lingkungan dan air tanah.

Selain itu, partisipasi masyarakat juga perlu diterapkan dalam upaya konservasi sumber daya. Seperti yang diketahui kawasan Tembalang merupakan kawasan konservasi dan sebagai resapan air, sehingga perlu adanya partisipasi masyarakat untuk tetap mempertahankan ruang terbuka hijau dan mengendalikan konversi lahan.

Kesimpulan

            Kawasan sekitar Kampus UNDIP Tembalang merupakan bagian atas Kota Semarang yang berfungsi sebagai kawasan konservasi dan resapan air. Namun, seiring perkembangannya, banyak terjadi perubahan tutupan lahan dan semakin berkurangnya daerah resapan air yang menyebabkan genangan. Hal ini didukung dengan terbatasnya saluran drainase yang memadai karena adanya penyumbatan dan sedimentasi saluran. Akibatnya, limpasan air menjadi meningkat yang dapat mengakibatkan banjir kiriman di Semarang Bawah. Selain itu, karena belum adanya sistem drainase terpadu berupa masih adanya pencampuran dalam pembuangan air hujan dan air limbahnberakibat pada penurunan kualitas lingkungan dan pencemaran air tanah.      Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu adanya pengembangan sistem drainase berkelanjutan. System drainase berklenjutan ynag cocok diterapkan di kawasan sekitar Kampus UNDIP Tembalang adalah sumur resapan. Pembuatan sumur resapan ini untuk mengurangi limpasan air dan mengembalikan fungsi kawasan sebagai daerah resapan air. Dalam pengembangan system drainase berkelanjutan ini juga perlu adanya partisipasi masyarakat terutama dalam pengelolaan sistem drainase.

Sumber:

Kodoatie, Robert J. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Samandikun, Budi Prasetyo. 2009. “Tinjauan Kondisi Bentang Lahan Kawasan Tembalang Akibat Perubahan Guna Lahan” dalam Jurnal Presipitasi. Vol. 6 No. 1 Maret. Semarang.

Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Penerbit Andi: Jogyakarta.

 

By Yulistiani Julis

MOBILITAS SOSIAL DI KOTA BESAR (Studi Kasus: Kota Semarang)

PENDAHULUAN 

Image

Kota adalah suatu himpunan penduduk masal yang tidak agraris, yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar suatu pusat kegiatan ekonomi, pemerintahan, kesenian dan ilmu pengetahuan (Wirjaatmadja, 1985 : 133). Kota mempunyai karakterisasi-karakterisasi yang melekat padanya, dan dapat diamati melalui sistem dan jaringan kehidupan sosial masyarakat.  

Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma adat yang sama-sama di taati dalam lingkungannya. Tatanan kehidupan, norma-norma yang mereka miliki itulah yang menjadi dasar kehidupan sosial dalam lingkungan mereka, sehingga dapat membentuk suatu kelompok manusia yang memiliki ciri kehidupan yang khas. Masyarakat perkotaan yang sering disebut juga urban community. memiliki sifat-sifat serta ciri-ciri kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Perhatian masyarakat perkotaan tidak terbatas pada aspek-aspek seperti pakaian, makanan dan perumahan, tetapi mempunyai perhatian yang lebih luas lagi. Masyarakat perkotaan sudah memandang kebutuhan hidup, artinya tidak hanya sekedarnya atau apa adanya. Hal ini disebabkan karena pengaruh pandangan warga kota sekitarnya.

Kota Semarang merupakan salah satu Kota besar di Pulau Jawa dan merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah. Kota Semarang merupakan kota metropolitan yang telah mengalami berbagai perubahan baik secara fisik, ekonomi, sosial maupun budaya. Semakin meningkatnya kemajuan dalam bidang transportasi, teknologi, pendidikan, lapangan kerja industri, serta modernisasi menjadikan Kota Semarang mudah mengalami mobilitas sosial.

Istilah mobilitas berasal dari kata mobilis (latin) yang artinya bergerak atau berpindah.  Mobilitas sosial merupakan perubahan posisi atau kedudukan orang atau kelompok orang dalam struktur sosial, misalnya dari satu lapisan ke lapisan lain yang lebih atas ataupun lebih bawah, atau dari satu kelompok/golongan ke kelompok/golongan lain. Tipe mobilitas sosial secara prinsipal ada dua, yaitu mobilitas sosial horizontal dan mobilitas sosial vertikal (Sorokin, 1980: 133).

  • Mobilitas horizontal : peralihan individu atau obyek sosial lainnya dari suatu kelompom sosial ke kelompok sosial yang lain yang sederajat.
  • Mobilitas vertikal : perpindahan individu atau obyek sosial dari suatu kedudukan ke kedudukan lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya dibedakan menjadi dua, yaitu naik (social-climbing) dan turun (social-sinking).

Sorokin dan Zimmerman (Smith T. Lynn, 1951: 53) berpendapat bahwa kedua jenis mobilitas sosial ini berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan pembangunan, namun mobilitas vertikal memiliki peranan yang lebih besar, karena :

  • Adanya jabatan-jabatan atau posisi-posisi yang mempermudah orang untuk berpindah secara vertikal baik ke atas maupun ke bawah
  • Perbedaan tingkat fertilitas, yang menyebabkan semakin berkurangnya orang-orang pada kelas atas perkotaan, dan menyebabkan kosongnya “top position” dari piramida sosial, yang selanjutnya dapat menciptakan arus vertikal
  • Perbedaan sifat biologis dan psikologis antara orang tua dan anak-anaknya. Ini lebih jelas terlihat apabila si anak kurang mampu, paling tidak menyamai orang tuanya. Sehingga dirinya tidak mampu untuk mempertahankan level di mana ia dilahirkan,
  • Setiap adanya perubahan lingkungan sosial dan budaya pasti mengarah kepada mobilitas vertikal.

Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa mobilitas sosial vertikal mempunyai saluran-saluran yang disebut social circulation yaitu angkatan bersenjata (tentara), lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, organisasi politik, ekonomi dan profesi, serta perkawinan.

PEMBAHASAN 

Pada dasarnya setiap warga dalam suatu masyarakat mempunyai kesempatan untuk menaikan kelas sosial mereka dalam struktur sosial masyarakat yang bersangkutan. Termasuk dalam masyarakat yang menganut sistem pelapisan yang tertutup. Inilah yang biasa disebut dengan mobilitas sosial. Mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial yang lainnya (Horton & Hunt, 1999). Masyarakat dengan sistem sosial terbuka memilki tingkat mobilitas yang tinggi dibanding masyarakat dengan sistem sosial yang tertutup. Dalam dunia modern seperti sekarang ini, banyak negara mengupayakan peningkatan mobilitas sosial dalam masyarakatnya, karena mereka yakin bahwa hal tersebut akan membuat orang melakukan jenis pekerjaan yang paling cocok bagi diri mereka. Apabila tingkat mobilitas tinggi, meskipun latar belakang sosial individu berbeda, maka mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Apabila tingkat mobilitas sosial rendah, maka tentu saja kebanyakan orang akan terkungkung dalam status para nenek moyang mereka.

Kota Semarang sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang terus mengalami pembangunan. Pembangunan secara fisik menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan kota. Perkembangan dan kemajuan di bidang transportasi, pendirian zona industri, pertanian dan perkebunan serta kerajinan semakin mempercepat perubahan kota baik secara fisik maupun non fisik. Semakin meluasnya jaringan infrastruktur jalan dan kereta api menyebabkan semakin banyak orang melakukan mobilitas sosial.

Selain itu, Karesidenan Semarang sebagai salah satu karesidenan utama di Hindia Belanda, memiliki posisi strategis. Hal ini disebabkan oleh karena Karesidenan Semarang selain sebagai wilayah pengembangan agribisnis, juga disebabkan karena kota Semarang sebagai ibu kota, merupakan pintu gerbang utama bagi lalu lintas ekspor-impor dari dan ke wilayah Jawa Tengah. Tumbuhnya Kota Semarang sebagai kota perdagangan menjadikan daya tarik tersendiri bagi penduduk, baik dari wilayah sekaresidenan maupun dari luar karesidenan. Dengan banyaknya penduduk yang mengadu nasib di berbagai sektor formal maupun informal, maka di Karesidenan Semarang memiliki mobilitas sosial baik yang vertikal maupun horizontal relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan karesidenan lainnya di Jawa Tengah.

Pertumbuhan penduduk juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan kota. Munculnya berbagai jenis lapangan pekerjaan baru sejalan dengan perkembangan Kota Semarang yang pesat, membawa pengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang mencakup pertumbuhan penduduk, pertumbuhan sektor non pertanian, perkembangan struktur kota dan masyarakat serta tingginya arus modernisasi.  Hal ini semua mengakibatkan terjadinya mobilitas sosial yang sangat jelas di Kota Semarang.

Mobilitas sosial di kota-kota besar di Indonesia seperti Kota Semarang merupakan akibat dari sistem sosial yang berlaku di masyarakat perkotaan. Mobilitas sosial di Kota Semarang sudah termasuk tinggi. Mudahnya terjadi mobilitas sosial di Kota Semarang disebabkan karena kebanyakan masyarakat menganggap  status pekerjaan lebih ditekankan pada “gengsi” pekerjaan tersebut. Misalnya, orang lebih menghargai menjadi pegawai negeri daripada wiraswastawan walaupun pendapatan dalam bidang wiraswasta lebih tinggi daripada pegawai negeri. Tetapi karena pekerjaan menjadi pegawai negeri sudah terlanjur memberikan gengsi yang tinggi dan dianggap pekerjaan “white collar”, maka kedudukannya dianggap lebih tinggi dibanding bidang pekerjaan lainnya, yang sering dicap sebagai pekerjaan “blue collar”.

Karena banyaknya jenis pekerjaan di Kota Semarang, penduduk Kota Semarang lebih mudah beralih dari satu status ke status lainnya. Di Kota Semarang, segala sesuatu sudah terkelompok secara profesional menurut jenis pekerjaannya misal guru, dokter, wartawan, pengusaha, buruh bangunan, bahkan juga pedagang kaki lima. Keinginan untuk hidup layak dan mendapatkan posisi atau status lebih tinggi adalah aspek naluriah setiap manusia, karena setiap manusia ingin dihormati sesuai dengan status yang dimilikinya. Dalam masyarakat, semakin tinggi nilai status seseorang, semakin besar pula penghormatan orang terhadap orang itu. Kenaikan dalam jenjang kemasyarakatan ini (social climbing) di kota, hanya dapat dilakukan dengan usaha dan perjuangan pribadi. Perjuangan pribadi artinya kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mencapai status tersebut. Tetapi sebaliknya, seseorang dapat turun kelasnya akibat tindakannya sendiri (misalnya dipecat dari jabatan karena membuat kesalahan). Kondisi seperti ini termasuk dalam kategori mobilitas vertikal, yang sering terjadi pada masyarakat kota Semarang.

            Mobilitas sosial yang terjadi di Kota Semarang adalah mobilitas sosial horizontal an vertikal. Namun, dalam kehidupan masyarakat, mobilitas sosial vertikal lebih banyak terjadi dan banyak ditemukan kasusnya di Kota Semarang. Hal ini dikarenakan kemajuan teknologi yang tinggi serta adanya modernisasi menjadikan gengsi dan status sosial dalam kehidupan masyarakat menjadi hal yang sangat penting. Gengsi atau status sosial seseorang dalam kehidupan masyarakat Kota Semarang sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan dan pekerjaannya. Maka, banyak orang yang berlomba-lomba untuk meningkatkan status sosialnya menjadi lebih baik dan naik keatas dengan melakukan mobilitas sosial vertikal.

  1. a.    Mobilitas Horizontal

Mobilitas horizontal yang terjadi di Kota Semarang  berupa peralihan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Mobilitas horizontal yang banyak terjadi adalah peralihan status pekerjaan. Seorang buruh petani di pinggiran Kota Semarang terutama di Kabupaten Semarang, Kendal, Demak dan Purwodadi pada musim paceklik pindah ke kota untuk bekerja sebagai buruh. Ini disebut sebagai mobilitas horizontal karena tidak terjadi perubahan status dalam kedudukan sosial si petani dalam masyarakat, dan juga tidak terjadi perubahan pendapatan yang signifikan bagi si petani.

Mobilitas horizontal di Kota Semarang juga terjadi karena adanya transformasi pekerjaan. Transformasi pekerjaan yang paling besar adalah dari pekerjaan sebagai petani ke buruh industri, pengusaha atau wiraswasta. Berbeda dengan kasus diatas yang hanya terjadi pada musim panceklik, transformasi ini terjadi setiap saat dan umumnya bersifat permananen. Transformasi ini juga tidak terjadi pada masyarakat pinggiran Kota Semarang, namun pada masyarakat di Kota Semarang itu sendiri. Terjadinya transformasi pekerjaan dari petani menjadi buruh industri atau pengusaha ini terjadi pada mereka yang pada umumnya tidak lagi memiliki lahan sawah atau tegalan karena adanya konversi lahan terbuka menjadi lahan terbangun akibat pembangunan daerah. Selain itu, dengan semakin berkembangnya industri serta perdagangan dan jasa di Kota Semarang, petani banyak yang beralih profesi menjadi buruh industri ataupun pengusaha (terutama pedagang) dan menjadikannya sebagai pekerjaan utama. Kasus mobilitas horizontal transformasi petani menjadi burh industri ini banyak terjadi di Semarang bagian Barat dan Timur karena adanya pengembangan Kota Semarang bagian Barat dan Timur sebagai kawasan industri. Sedangkan transformasi petani menjadi pengusaha (pedagang) banyak di terjadi di Semarang bagian selatan sebagai akibat pengembangan wilayah Semarang bagian selatan sebagai kawasan pendidikan, perdagangan jasa serta permukiman.

Mobilitas sosial horizontal dapat terjadi secara sukarela, dan bisa juga terpaksa, contoh petani yang beralih pekerjaan menjadi buruh adalah terpaksa, sedangkan yang sukarela adalah bila seorang pegawai bank yang anggota pegawai bank yang bosan jadi pegawai dan ingin berkarier sebagai konsultan pajak atau perbankan.

  1. b.    Mobilitas Vertikal

Mobilitas vertikal dapat terjadi secara dua arah yaitu naik dan turun.   Mobilitas sosial vertikal naik (social climbing), dapat berupa masuknya individu dari kedudukan rendah ke kedudukan tinggi serta pembentukan kelompok baru yang derajatnya lebih tinggi. Mobilitas sosial vertikal turun (social sinking), dapat berupa turunnya individu dari kedudukan yang lebih tinggi ke kedudukan yang lebih rendah serta turunnya derajat sekelompok individu karena disintegrasi kelompok (sering disebut sebagai dislokasi sosial).

–     Mobilitas Sosial Vertikal Naik (Social Climbing)

Mobilitas sosial vertikal naik ditunjukkan dengan naiknya kelas atau status sosial seseorang.Di Kota Semarang yang didominasi oleh aktivitas perdagangan dan jasa, serta industri mobilitas sosial jenis ini banyak terjadi. Misal, seorang karyawan yang rajin bekerja kemudian mendapat promosi dan naik jabatan menjadi manajer. Mobilitas sosial vertikal ini juga dapat berupa peralihan mata pencaharian yang awalnya petani menjadi buruh industri atau pengusaha dengan terlebih dahulu mendapat pelatihan sehingga mampu mengembangkan kualitas diri dan keterampilannya. Dengan mengikuti pelatihan terlebih dahulu, kualitas sumber daya manusia petani telah berubah menjadi lebih tinggi. Dengan kemampuannya, ia kemudian mengembangkan diri dan mampu beradptasi dengan baik dalam lingkungan sosialnya yang baru di tempat kerja yang baru. Secara tidak langsung status sosialnya berubah menjadi lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Petani yang telah beralih menjadi buruh industri atau pengusaha yang terampil ini juga memiliki tingkat pendapatan yang berbeda dari teman-temannya yang lain yang masih berprofesi sebagai petani. Maka, dalam lingkungannya, petani ini telah mengalami mobilitas sosial vertikal naik dan memiliki status sosial lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.

–     Mobilitas Sosial Vertikal Turun (Social Sinking)

Mobilitas sosial jenis ini banyak terjadi pada pengusaha-pengusaha besar yang awalnya mengalami kesuksesan lalu terjebak dalam kehidupan sosial yang salah dan berubah menjadi miskin. Contoh: Seorang pengusaha sukses yang terjebak pada pergaulan dengan rekan sejawatnya yang hobi berjudi, dia jatuh bangkrut. Kini yang tersisa hanya baju yang dipakainya. Selain kehilangan harta benda, orang yang mengalami mobilitas jenis ini juga akan kehilangan status atau kedudukan dalam sistem sosial masyarakat yang juga berdampak bagi keluarga dan kerabat dekatnya. Orang yang mengalami ini pada awalnya dianggap baik dan dipandang terhormat oleh orang lain, namun setelah mengalami kebangkrutan akan dipandang rendah. Terleabih jika kebangkrutan tersebut dikarenakan hal-hal yang tidak baik. Sistem sosial masyarakat Jawa yang masih melekat di kehidupan sosial masyarakat Kota Semarang menjadikan kejadian mobilitas sosial seperti ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat.

Selain kedua mobilitas vertikal dan horizontal diatas, juga terdapat mobilitas sosial antar generasi dan intra generasi.

–      Mobilitas sosial antar-generasi adalah mobilitas yang terjadi pada generasi yang berbeda,  misalnya orang tua berkedudukan sebagai petani atau buruh, anak-anaknya menjadi pengajar di perguruan tinggi atau majikan. Contoh mobilitas dalam bentuknya yang demikian banyak terjadi di Kota Semarang. Banyak orang yang akhirnya meninggalkan pekerjaan sebagai petani atau pekerjaan agraris yang lain sebagaimana yang ditekuni oleh para orangtua mereka karena tertarik untuk bekerja di pabrik-pabrik/industri. Atau sebaliknya, orang tuanya sebagai majikan atau pejabat negara, sedangkan anak-anaknya menjadi buruh atau pegawai biasa.

–     Mobilitas intragenerasi yaitu peralihan status sosial yang terjadi dalam satu generasi yang sama. Contoh: dua kakak adik yang bekerja pada perusahaan yang sama. Kakak menjadi direktur dan adik hanya seorang pegawai.

 

Tingginya mobilitas sosial di kota besar seperti Kota Semarang disebabkan karena setiap orang ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan mendapatkan kedudukan atau status sosial yang tinggi dalam sistem sosial masyarakat. Maka, untuk mencapai hal tersebut seseorang berusaha dan bekerja keras, meningkatkan pendidikan, pengetahuan dan ketampilan agar memiliki tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Dalam masyarakat Kota Semarang terdapat suatu campuran antara prestasi dan askripsi, yaitu hubungan timbal balik antara usaha sendiri atau prestasi dan pengaruh keturunan bersifat kompleks dan berubah-ubah. Masyarakat Kota Semarang adalah modern yaitu  masyarakat yang kompleks, dimana keragaman jenis pekerjaan yang berbeda-beda kepentingannya membawa penghasilan yang tidak sama serta kondisi kerja yang tidak sama pula.  Meskipun mobilitas sosial memungkinkan masyarkat untuk mengisi kursi jabatan dengan orang yang paling ahli dan memberikan kesempatan bagi orang untuk mencapai tujuan hidupnya, namun mobilitas sosialpun mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi yang sebenarnya tidak kita inginkan, seperti rasa ketegangan pada pribadi yang berusaha untuk naik status, rasa ketidakpuasan akan kegagalan, sikap angkuh dan sombong atas keberhasilan, rasa khawatir akan turunnya status, dan secara sosial bisa memperlemah solidaritas kelompok sebagai akibat dari dinamika antargolongan sosial dalam masyarakat.

Mobilitas sosial baik secara vertikal dan horizontal di Kota Semarang dapat memberikan manfaat dan juga kerugian. Manfaat yang diperoleh dengan tingginya mobilitas sosial antara lain:

–     Terbukanya kesempatan bagi individu/ masyarakat untuk mengembangkan kepribadiaanya.

–     Status seseorang tidak ditentukan oleh diri sendiri yang didasarkan atas prestasi, kemampuan dan keuletan.  Kesempatan ini mendorong orang untuk mau bersaing, dan bekerja keras agar dapat naik ke strata atas. Contoh: Seorang anak miskin berusaha belajar dengan giat agar mendapatkan kekayaan dimasa depan.

–     Terbukanya kesempatan untuk meraih kehidupan yang lebih baik.

Sedangkan kerugian yang dapat ditimbulkan antara lain:

–     Menimbulkan kecemasan dan ketegangan yang disebabkan karena mobilitas menurun

–     Munculnya kecemasan dan ketegangan sebagai akibat peran baru dari status jabatan yang ditingkatkan.

–     Terjadinya keretakan hubungan antar anggota primer, yang disebabkan karena perpindahan status yang lebih tinggi atau status yang lebih rendah.

–     Munculnya konflik status dan peran, konflik antar kelas sosial, antar kelompok sosial dan antar generasi. Contoh konflik:

  • Konflik antar kelas: demonstrasi buruh yang menuntuk kenaikan upah, menggambarkan konflik antara kelas buruh dengan pengusaha.
  • Konflik antar kelompok sosial: tawuran pelajar, perang antarkampung.
  • Konflik antar generasi: Pergaulan bebas yang saat ini banyak dilakukan kaum muda di Indonesia sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut
    generasi tua.

 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Mobilitas sosial adalah gerakan atau perpindahan individu dari suatu kedudukan ke kedudukan lainnya dalam masyarakat. Kedudukannya yang baru dapat menjadi lebih tinggi atau lebih rendah. Faktor-faktor yang dapat menghambat proses mobilitas sosial yaitu kebudayaan, asal-usul, tradisi, dan keadaan ekonomi. Bentuk-bentuk mobilitas sosial yaitu mobiltas horizontal dan vertical. Mobilitas horizontal merupakan peralihan individu dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Sedangkan mobilitas vertikal adalah perpindahan individu dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang terdiri dari dua macam yaitu mobilitas sosial yang naik dan mobilitas sosial yang turun. Mobiltas antargenerasi adalah mobilitas yang ditandai dengan adanya perkembangan taraf hidup atau status sosial dalam suatu garis keturunan.

Pada lapisan masyarakat tertutup mobilitas vertikal relatif lamban karena kedudukannya sudah ditentukan sejak individu itu dilahirkan. Pada lapisan masyarakat terbuka, kedudukan apa yang hendak dicapai oleh seseorang atau kelompok bergantung pada kemampuan individu itu sendiri. Saluran-saluran mobilitas sosial vertikal antara lain angkatan bersenjata, lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, organisasi politik, dan organisasi ekonomi. Konsekuensi dari adanya mobilitas sosial akan mengakibatkan beberapa kemungkinan terhadap individu dan kelompok. Misalnya, konflik antarkelas sosial, antarkelompok sosial, dan antargenerasi.

Saran

            Dengan tingginya mobilitas sosial di kota besar seperti Kota Semarang yang juga memberikan dampak baik bagi individu, kelompok sosial maupun masyarakat, maka perlu adanya optimalisasi fungsi pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia. Selain itu juga perlu adanya pemerataan dan keadilan untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi masyarakat miskin dan masyarakat yang dianggap memiliki status sosial rendah. Dengan sistem sosial di kota yang bersifat kompleks, maka mobilitas sosial juga dapat memberikan dampak buruk dengan munculnya konflik-konflik sosial. Agar konflik yang terjadi tidak berkepanjangan, merugikan banyak pihak dan menjadikan kehidupan sosial masyarakat menjadi tidak kondusif, maka setiap terjadi konflik sosial perlu adanya pengendalian dan penyelesaian konflik, baik secara mandiri oleh masyarakat maupun dengan bantuan stakeholder yaitu pemerintah, aparat, pemuka dan tokoh masyarakat secara cepat dan tepat.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Karsidi, Ravik, 1999. Kajian Keberhasilan Transformasi Pekerjaan dari Petani ke Pengrajin Industri Kecil (Disertasi Doktor Institut Pertanian Bogor), tak diterbitkan.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar. Raja Graffindo Persada:Jakarta.

Soeryo, Djoko dan C.Santi Puji Utami. 2000. Perdagangan Suatu Bentuk Kehidupan Ekonomi Kota. Tesis Program Studi Sejarah Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Wirjaatmadja, Soekandar. 1985. Pokok-pokok Sosiologi Pedesaan. Yasaguna: Jakarta.

            

By Yulistiani Julis

KARAKTERISTIK PENDUDUK DAN PERMUKIMAN DI WILAYAH SUBURBAN METROPOLITAN (Review Article)

Pendahuluan

Kota metropolitan merupakan kota yang cepat mengalami perkembangan hingga mendorong  terjadinya suburbanisasi di wilayah sekitarnya. Suburbanisasi ini ditandai dengan adanya perubahan atau transisi karakteristik wilayah. Seperti adanya peningkatan permukiman, konversi lahan pertanian dan juga kondisi sosial budaya masyarakat yang modern. Suburbanisasi terjadi hampir di seluruh kawasan perkotaan, terutama kawasan metropolitan. Perkembangan permukiman merupakan salah satu aspek yang sangat berpengaruh terhadap suburbanisasi.

Perkembangan permukiman di wilayah suburban metropolitan ini berubah sangat cepat.Seperti halnya yang terjadi di kawasan metropolitan Tallinn, Estonia bagian wilayah negara Rusia. Kota Tallinn merupakan pusat migrasi di Rusia baik secara internal maupun eksternal. Migrasi ini terjadi sebagai dampak perkembangan industri. Tingkat migrasi yang tinggi ini menjadikan Kota Tallinn berkembang sebagai kota metropolitan dengan urbanisasi tinggi.

Kawasan metropolitan Tallinn mengalami suburbanisai dalam dua periode waktu yaitu tahun 1990an dan tahun 2000an. Suburbanisasi baru yang terjadi pada tahun 2000an berbeda dengan suburbanisasi yang lama. Hal inilah yang mendorong adanya perbedaan karakteristik penduduk dan permukiman di wilayah suburban. Tulisan ini berusaha menjelaskan mengenai perbedaan karakteristik permukiman dan penduduk sebagai akibat adanya suburbanisasi baru di kawasan metropolitan Tallinn, Estonia.

Konsep Suburbanisasi

Suburbanisasi merupakan proses yang sangat penting dalam menentukan perubahan sosio-spasial pada kawasan perkotaan, terutama metropolitan. Suburbanisasi ini terjadi karena adanya aktivitas penduduk yang mendorong untuk pindah ke pinggiran kota. Menurut Bounce (1999, dalam Kontuly, 2006), suburbanisasi terjadi karena adanya perubahan struktur ekonomi. Perubahan struktur ekonomi ini mendorong terjadinya perubahan pada komposisi pekerjaan penduduk antara pertanian dan industry dimana sector industri menjadi sangat berkembang dan mendorong penduduk beralih mata pencaharian. Kawasan industri yeng terletak di perkotaan ini menarik penduduk pedesaan melakukan migrasi ke perkotaan.

Urbanisasi pada masing-masing memilki karakteristik yang berbeda-beda. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa suburbanisasi di kawasan yang terencana lebih kecil dibandingkan pada kawasan yang tidak terencana. Dan pada umumnya pada kawasan yang tidak terencana, suburbanisasi terjadi sebagai implikasi kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah yang sulit untuk bertempat tinggal di pusat kota (Ladanyi dan Szelenyi, 1998 dalam Kahrik, 2007).

Suburbanisasi merupakan proses kelanjutan dari urbanisasi. Dimana, suburbanisasi ini terjadi pada wilayah pinggiran kota sebagai dampak perkembangan kota. Akibatnya wilayah pinggiran yang awalnya bersifat peedesaan mengalami transisis menjadi perkotaan. Perkembangan selanjutnya dari suburbanisasi adalah counterurbanisasi. Hal ini terjadi setelah wilayah suburban jauh lebih berkembang dan menjadi perkotaan dan terjadi perkembangan di wilayah sekitarnya.

Suburbanisasi di Kawasan Metropolitan Tallinn, Estonia

Proses urbanisasi yang terjadi yang Tallinn, Estonia dimulai dari adanya urbanisasi, berlanjut menjadi proses suburbanisasi dan berubah menjadi counterurbanisasi. Suburbanisasi  yang terjadi di kawasan metropolitan Tallinn terjadi dalam dua kurun waktu yaitu tahun 1990an dan tahun 2000an. Suburbanisasi yang terjadi dalam dua kurun waktu tersebut memiliki karakteristik yang berbeda yang turut membedakan karakteristik permukiman dan penduduk yang menempatinya.

Menurut Szelenyi (dalam Kahrik, 2007),  suburbanisasi yang terjadi di Tallinn disebabkan oleh  kerakteristik populasi penduduk. Pertama, penduduk dengan kondisi sosial ekonomi rendah yang hidup diluar kawasan perkotaan. Penduduk dengan tingkat pendidikan rendah dan pengangguran dari wilayah pedesaan cenderung melakukan migrasi ke wilayah perkotaan. Namun, karena adanya ketidakmampuan dalam social ekonomi, maka penduduk ini kemungkinan besar bertempat tinggal di wilayah pinggiran perkotaan sehingga terjadi suburbanisasi.

Kedua, suburbanisasi terjadi pada penduduk dengan tingkat social ekonomi tinggi. Pada penduduk dengan tingkat social ekonomi tinggi, migrasi yang terjadi ke wilayah pinggiran disebabkan oleh adanya factor kenyamanan dan lingkungan. Penduduk memilih bertempat tinggal dan bermukim di pinggiran untuk kenyamanan yang didukung dengan aksesibilitas yang baik terutama terkait transportasi ke pusat kota. Jadi, suburbanisasi terjadi karena adanya perbedaan finansial antar penduduk dalam bermukim sehingga memberikan karakteristik yang berbeda pada permukiman yang berkembang di wilayah suburban.

Karakteristik Penduduk dan Permukiman di Wilayah Suburban Baru di Kawasan Metropolitan Tallinn, Estonia

Karakteristik permukiman dan penduduk si wilayah suburban baru berbeda dengan yang lama. Faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan karakteristik permukiman di wilayah suburban ini adalah ada tidaknya keterlibatan sector sawasta sebagai developer permukiman. Jadi, sector swasta dalam pengembangan permukiman di wilayah suburban kawasan metropolitan Tallinn merupakan kunci utama yang menentukan karakteristik penduduk dan permukiman yang berkembang.

Metropolitan Tallinn, Estonia merupakan wilayah yang bersifat neo liberal. Pemerintah lokal tidak memiliki kewenangan dalam menginisiasi dan mengimplementasikan rencana pembangunan permukiman. pembanguna permukiman ini lebih dipengaruhi oleh sector swasta (developer) yang mengatur perkembangan harga lahan dan permukiman. Akibat lemahnya regulasi pemerintah ini, menjadikan adanya kompetisi antar developer sehingga permukiman yang dibangun lebih mengutamakan profit oriented daripada benefit. Kecenderungannya, pihak swasta akan membangun permukiman untuk penduduk dengan tingkat sosial ekonomi tinggi dan tidak membangun permukiman untuk golongan menengah ke bawah.

Disamping itu, meskipun jarak ke pusat kota jauh, namun permukiman di wilayah suburban tetap berkembang pesat sehingga berimplikasi pada pembangunan permukiman yang tinggi pada lahan terbuka. Pembangunan permukiman ini meningkat seiring dengan adanya peningkatan kesejahteraan sebagai hasil dari pertumbuhan ekonomi wilayah.

  1. 1.      Karakteristik Permukiman dan Penduduk Wilayah Suburban Tahun 1990an

Pada tahun 1990an, Tallinn merupakan salah satu tujuan migrasi baik berupa internal maupun eksternal. Hal ini sesuai dengan perkembangan kota Tallinn sebagai pusat industri. Penduduk dari luar wilayah Estonia, maupun sekitar Kota Tallinn cenderung migrasi ke pusat Kota Tallinn. Dan karakteristik penduduk yang melakukan migrasi adalahn penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi. Dengan berkembangnya perkotaan, penduduk mayoritas lebih memilih tinggal di pusat kota, sementara itu penduduk dengan sosial ekonomi rendah tinggal di pinggiran kota dengan mata pencaharian utama pertanian. Hal ini terjadi sebagai dampak adanya kebijakan menganai pertanian dan industri dimana, penduduk dengan status sosial ekonomi tinggi lebih memiliki peran penting dalam pembangunan.

Sebagian besar permukiman yang berkembang di pusat kota berupa permukiman massal. Sementara itu, di wilayah suburban merupakan permukiman single dengan pekerjaan utama di bidang pertanian. Permukiman di pusat kota diperuntukkan untuk high class dengan tipe bukan berkeluarga. Sementara permukiman di suburban didominasi oleh penduduk berkeluarga. Hal ini disesuaikan dengan krakteristik penduduk yang bertempat tinggal.

  1. 2.      Karakteristik Permukiman dan Penduduk Wilayah Suburban Baru Tahun 2000an

Sebagian besar penduduk yang bermukim di wilayah suburban baru merupakan penduduk dengan usia muda yang bertempat tinggal di permukiman elit. Jadi, penduduk yang bertempat tingal di suburban merupakan penduduk tanpa kelauarga dan anak. Karena, permukiman yang dikembangkan didesain untuk pribadi. Jika penduduk memiliki keluarga, maka membutuhkan dana yang lebih besar. Tingkat pendidikan dan ekonomi penduduk yang tinggal di wilayah suburban lebih tinggi dibandingkan yang tinggal di pusat Kota Tallinn. Hal ini dikarenakan pembangunan permukiman yang berkembang di wilayah suburban lebih berupa single house dengan harga tinggi sehingga sulit dijangkau oleh penduduk golongan menengah ke bawah. Selain itu, penduduk golongan menengan ke atas juga lebih tertarik bermukim di suburban karena kondisi lingkungan yang lebih nyaman dan adanya akses transportasi dan telekomunikasi yang telah maju. Jadi, meskipun penduduk tinggal si suburban, namun tetap berkerja di pusat kota.

Selain itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pembangunan permukiman di Tallinn sangat dipengaruhi oleg developer. Jadi, dengan semakin berkembangnya wilayah, pemasaran permukiman juga semakin berkembang. Dan kecenderungan yang terjadi, developer membangun permukiman berdasarkan pada perkembangan harga lahan dan sumberdaya keuangan masyarakat pada golongan tinggi.

Kesimpulan

            Suburbanisasi di Metropolitan Tallinntelah berlangsung dua periode. Masing-masing periode memberikan dampak yang berbeda terhadap karekteristik penduduk dan permukiman di wilayah suburban. Pada suburbanisasi lama, karakteristik permukiman di wilayah suburban berupa permukiman single yang didominasi oleh penduduk dengan tingkst social ekonomi rendah. Sedangkan pada suburbanisasi baru, karakteristik permukiman di dominasi oleh permukiman high class dengan karakteristik penduduk pada tingkat social menengah keatas. Karakteristik permukiman ini ditentukan oleh developer sebagai pelaku utama pembangunan permukiman sehingga sangat dipengaruhi oleh pasar dan profit oriented.

 

Sumber:

Kahrik, Annelid an Tammaru Tiit. 2008. “Population Composition in New Urban Settlement of The Tallinn Metropolitan Area. Jurnal Urban Studies Edisi 10 Mei. Sage Publication .

2006. “Population Subgroup responsible of New Urbanization and Suburbanization in Estonia” . Jurnal Europan Urban and Regional Studies. Sage Publication .

By Yulistiani Julis

Kegagalan Tata Kelola Wilayah Perbatasan (Cross Border Region) Di Indonesia

Pada suatu wilayah maupun nasional pada umumnya berupa unit spsial yang dibatasi oleh batas administratif. Adanya batas administrative ini menunjukkan adanya independen di masing-masing wilayah untuk mengelola wilayahnya sesuai batas administrative. Terbentuknya batas-batas wilayah secara administrative ini menjadikan tebentuknya suatu unit spasial berupa wilayah perbatasan yang berada diantara dua wilayah administrative yang berbeda. Wilayah perbatasan dapat dibagi menjadi dua yaitu secara legal ditandai dengan batas administrative dan secara fungsional sitandai dengan social politik. Batas administrative ini dapat berupa batas fisik alam seperti gunung, sungai atau danau sedangkan batas fungsional ditekankan pada kekuasaan politik.

Wilayah perbatasan pada umumnya memiliki system politik dan struktur ekonomi yang heterogen. Hal ini disebabkan wilayah perbatasan merupakan kombinasi antara dua atau lebih unit spasial secara politik baik itu negara, provinsi maupun kabupaten. Untuk itulah, wilayah perbatasan dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan yaitu antar negara, antar provinsi dan antar desa-kota. Wilayah perbatasan antar negara biasanya bersifat dependen yang artinya hubungan antar wilayah perbatasan lebih kompleks dan terstruktur serta memiliki aturan yang kuat dan mengikat. Untuk wilayah perbatasan antar provinsi pada umumnya bersifat independen yang artinya terdapat kebebasan dalam berinteraksi antar provinsi tanpa aturan yang kompleks. Aliran barang di wilayah perbatasan antar provinsi ini umumnya lebih mudah dilakukan. Sedangkan wilayah perbatasan antara desa kota lebih bersifat fungsional dan memiliki linkages yang sangat kuat. Semakin tinggi tingkatan wilayah perbatasan akan bersifat lebih kompleks.

D Indonesia, wilayah perbatasan merupakan wilayah yang banyak mengalami permasalahan di bandingkan wilayah lainnya. Hal ini dikarenakan pembangunan wilayah perbatasan selama ini belum menjadi prioritas dalam pembangunan. Dalam upaya pembangunan wilayah, pemerintah lebih mengutamakan pembangunan pada wilayah pusat dan kurang memperhatikan wilayah perbatasan. Mungkin hal ini terjadi karena lokasi dari wilayah perbatasan yang jauh dari pusat pemerintahan. Selain itu, secara umum wilayah perbatasan tidak memiliki identitas karena merupakan kombinasi antar dua wilayah atau lebih sehingga seringkali diabaikan. Hal ini didukung dengan paradigma pengelolaan wilayah perbatasan yang biasanya menempatkan wilayah perbatasan sebagai daerah belakang atau “dapur” suatu wilayah sehingga kondisi di wilayah perbatasan menjadi terisolir dan tertinggal. Padahal wilayah perbatasan merupakan pintu gerbang utama suatu wilayah.

Masalah yang dihadapi wilayah perbatasan bersifat lebih kompleks dan biasanya menyangkut berbagasi aspek baik secara fisik maupun nonfisik terutama masalah social ekonomi dan infrastruktur. Dan masalah yang sering menjadi perdebatan adalah masalah infrastruktur karena bersifat lintas wilayah. Di wilayah perbatasan biasanya pembangunan infrastruktur kurang diperhatikan dan menjadi dilematis terutama terkait jalan, air bersih dan limbah.

Permasalahan- permasalahan tersebut terjadi karena kurang berhasilnya tata kelola wilayah perbatasan di Indonesia terutama terkait dengan collaboration governance (kolaborasi tata kelola). Kolaborasi tata kelola wilayah perbatasan dapat berupa komunikasi, koordinasi, kerjasama dan kolaborasi. Semakin tinggi tingkatan kolaborasi tata kelola menunjukkan pengelolaan wilayah perbatasan yang semakin baik. Namun, yang terjadi di Indonesia, pada umumnya tata kelola wilayah perbatasan hanya mencapai pada level komunikasi. Terdapat kesulitan untuk melakukan kolaborasi antar wilayah. hal ini terutama didukung dengan keegoaan masing-masing wilayah yang hanya mementingkan pembangunan di wilayahnya sendiri.

Kegagalan tata kelola wilayah perbatasan di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa factor yaitu terkait kapasitas pemerintah, kebijakan, anggaran, dan kewenangan pusat-daerah. Pertama, terkait kapasitas pemerintah. Pada umumnya, kapasitas pemerintahan di Indonesia belum memadai terutama dalam pengelolaan wilayah perbatasan yang bersifat lintas wilayah asministratif sehingga masih memerlukan bantuan dan koordinasi dengan pemerintah di hirarki lebih tinggi. Kedua, terkait dengan kebijakan berupa peraturan dan perundang-undangan pengelolaan wilayah perbatasan. Hal yang sering terjadi adalah kebijakan-kebijakan tersebut belum tersosialisasi dengan baik pada masing- masing wilayah sehingga pemerintah belum memahami sepenuhnya mengenai pengelolaan wilayah perbatasan. Ketiga, terbatasnya anggaran pembangunan pemerintah daerah. Anggaran pembangunan yang terbatas pada umumnya dilimpahkan untuk pembangunan di pusat wilayah untuk mendukung percepatan pertumbuhan wilayah sehingga pembangunan wilayah perbatasan kurang diperhatikan. Keempat, adanya tumpang tindih kewenangan pusat dan daerah dalam pengelolaan wilayah perbatasan.

Intinya, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan atas pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi, dan win win solution (saling menguntungkan).

Sumber:

Hughes, J. (1998) The Role Of Development Agencies In Regional Policy: An Academic And Practitioner Approach, Urban Studies, 35 (4), 615-626.

Firman, Tommy (2011) Membangun Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah di Wilayah Metropolitan di Indonesia (Tantangan Pengembangan Wilayah Dalam Konteks Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah), Orasi Ilmiah Dies Natalies Institute Teknologi Bandung.

By Yulistiani Julis

TANTANGAN PENGELOLAAN METROPOLITAN DI INDONESIA

Kota bukanlah sesuatu yang bersifat statis, namun merupakan ruang yang dinamis dan akan terus terus mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya aktivitas perkotaan. Perkembangan suatu kota akan mendorong perkembangan wilayah disekitarnya. Akhirnya, wilayah sekitarnya yang berada di pinggiran kota dan pada umumnya bersifat pedesaan akan mendapat pengaruh dari kota sehingga juga akan berubah menjadi kawasan perkotaan. Akibatnya, kota akan terus mengalami perkembangan dan perluasan. Perkembangan kota tersebut selain menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk dan luas wilayah yang sangat besar, juga menyebabkan munculnya persoalan-persoalan perkotaan yang lebih kompleks. Oleh karena itu, kawasan metropolitan memerlukan model pengelolaan tersendiri.

 Di Indonesia, pengelolaan metropolitan merupakan suatu tantangan karena metropolitan di diIndonesa terdiri dari beberapa wilayah administratif yang otonom sejak adanya desentralisasi. Dan untuk mengelola beberapa metropolitan di Indonesia bukanlah hal yang mudah karena bersatunya beberapa wilayah administratif  yang otonom ini seringkali menjadi masalah dalam pengelolaan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan peraturan antar wilayah, kemampuan pendanaan serta perbedaan kapasitas pemerintahannya.Untuk itulah tulisan ini berusaha menguraikan mengenai tantangan pengelolaan metropolitan di Indonesia.

Berbicara mengenai pengelolaan metropolitan, terlebih dahulu harus memahami definisi metropolitan itu sendiri. Metropolitan merupakan suatu hal yang tidak mudah untuk didefinisikan karena menyangkut beberapa aspek baik secara fisik maupun non fisik. Secara mudah, suatu kota disebut metropolitan dapat dilihat dari jumlah penduduknya yang lebih dari 1 juta jiwa. Secara spasial, kawasan metropolitan terdiri dari suatu kota dan wilayah sekitar yang terintegrasi membentuk suatu struktur ruang kota yang besar secara fungsional yang terpusat di kota inti dan terhubung dengan kota-kota kecil lainnya sebagai kota satelit.

Di Indonesia, kawasan metropolitan terus mengalami pertambahan jumlah karena kota-kota di Indonesia terus mengalami perkembangan yang pesat terutama dengan adanya urbanisasi. Beberapa contoh kota metropolitan di Indonesia yaitu Kota Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan lainnya. Perkembangan metropolitan dapat memberikan dua dampak yaitu secara positif dan negative. Secara positif, metropolitan merupakan suatu potensi yang mempunyai arti penting dalam pengembangan wilayah dan perekonomian karena memberikan sumbangan besar pada pertumbuhan ekonomi. Selain itu, kawasan metropolitan menyediakan peluang investasi dan lapangan pekerjaan yang lebih banyak daripada umumnya kawasan perkotaan atau perdesaan. Kawasan metropolitan juga menyediakan fasilitas pelayanan dan jasa yang lebih efisien, seperti sistem informasi, perbankan, jaringan pemasaran dan prasarana ekonomi lainnya yang lebih baik dibandingkan kawasan perkotaan kecil atau perdesaan.

Meskipun banyak memberikan dampak positif, perkembangan metropolitan juga banyak memberikan dampak negative seperti terjadinya eksploitasi sumber daya alam di sekitar metropolitan untuk mendukung dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (backwash effect wilayah sekitarnya), perluasan kota menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan permukiman, perdagangan, dan industry,  menurunnya kualitas lingkungan fisik kawasan perkotaan serta menurunnya kualitas hidup masyarakat. Untuk itu diperlukan pengelolaan kawasan metropolitan secara tepat dan terpadu agar masalah-masalah tersebut dapat diatas secara efektif dan efisien.

Terdapat 4 (empat) model pengelolaan metropolitan yaitu fragmented (terdiri dari pemerintah lokal otonomi), centralized (pemusatan pada pemerintah pusat), mix (campuran fragmented dan centralized) serta comprehensive (satu unit koordinator didukung pemerintah lokal otonom) (Montgomery, 2003).  Di Indonesia sebagai wilayah otonom, pengelolaan desentralisasi lebih mengarah pada model fragmented, sejak adanya desentralisasi pengembangan metropolitan merupakan tanggungjawab pemerintah daerah.

Tujuan diperlukaannya pengelolaan metropolitan ada dua yaitu  efisiensi pelayanan publik dengan koordinasi wilayah lain agar terjadi sintegrasi struktur jaringan pelayanan dan desentralisasi yaitu  partisipasi dari seluruh actor pembangunan dalam pengambilan keputusan. Namun, pengelolaan kawasan metropolitan di Indonesia bukan hal yang mudah. Karena jumlah penduduk metropolitan lebih besar, dan lebih beraneka ragam sehingga diperlukan penyediaan sumber daya dan pelayanan publik yang semakin tinggi dan beragam, lintas sector dan lintas wilayah.  Namun, pemenuhan pelayanan publik sangat sulit dilakukan karena  adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan penyediaan. Ketidakseimbangan ini terjadi bermula dari terus bertambahnya jumlah penduduk metropolitan dan perkembangannya sangat cepat sehingga menjadikan metropolitan sebagai kota dengan kepadatan tinggi, sementara penyediaan (supply) untuk memenuhi kebutuhan penduduk sangat kurang.

Selain itu, dalam pengelolaan kota metropolitan di Indonesia, ada satu tantangan yang sulit dilakukan yaitu koordinasi.  Terlebih sejak diberlakukannya otonomi daerah. Adanya otonomi ini menjadikan masing-masing daerah memiliki kebijakan yang berbeda-beda sehingga untuk kawasan metropolitan kebijakan menjadi beragam, terutama pada wilayah yang berbeda administratifnya. Padahal banyak sekali kebutuhan dan pembangunan kawasan metropolitan yang melibatkan beberapa wilayah administratif terutama terkait penyediaan jaringan infrastruktur. Penyediaan pelayanan publik terutama infrastruktur tidak dapat dibatasi secara administratif karena penyediaan infrastruktur seringkali meupakan lintas wilayah seperti jalan, air bersih, listrik dan lainnya. Namun, hal yang sering terjadi adalah kurang terpadunya jaringan infrastruktur antara pusat kota dengan kota satelit di sekitarnya. Infrastruktur di pusat kota lebih baik secara kualitas dan kuantitas. Hal ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan pendanaan. Karena pada wilayah administratif berbeda, kemampuan dalam pendanaan juga akan berbeda. Inilah yang menjadikan sulitnya memadukan pembangunan pusat kota dengan kota sekitarnya. Hal ini karena masing-masing wilayah memiliki peraturan, kebijakan, wewenang dan pendanaan yang berbeda.  Akibatnya, pembangunan  pusat kota juga berbeda dengan wilayah sekitarnya dan terjadi ketidakmerataan pembangunan.

Koordinasi antar wilayah ssulit dilakukan sebenarnya karena adanya perbedaan persepsi antar wilayah. Secara umum di Indonesia, kota-kota kecil hinterland memandang jika dilakukan koordinasi hanya akan menguntungkan kota pusat saja karena pada umumnya koordinasi dilakukan untuk mengatasi masalah di kota pusat dan kota kecil sekitarnya hanya menanggung masalah dari kota pusat. Padahal sebenarnya, jika dilakukan koordinasi dapat saling menguntungkan kota pusat dan kota sekitarnya. Selain terjadi efisisensi pelayanan publik, integrasi pembangunan juga dapat mendorong wilayah sekitarnya menjadi lebih berkembang.

Jadi, pengelolaan metropolitan bukan merupakan hal yang mudah karena metropolitan sangat cepat mengalami perkembangan sehingga permasalahan yang dihadapu juga semakin banyak dan kompleks. Tantangan terbesar dalam pengelolaan metropolitan di Indonesia adalah terkait koordinasi antar wilayah. Karena metropolitan menyangkut berbagai wilayah administratif yang berbeda sehingga perlu adanya integrasi dalam pembangunan agar metropolitan dapat berkembang secara terpadu. 

Sumber:

Montgomery, Mark et al. 2003. Cities Transformed: Demographic Change and Its Implications in the Developing World. The Nationa Lacademies Press 500 Fifth Street, N.W.Washington,Dc.

Suselo, Hendropranoto. 2006. “Persoalan dan Tantangan Metropolitan di Indonesia” dalam Buku Metropolitan Bab 4. Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.

By Yulistiani Julis

KETERKAITAN DESA KOTA (RURAL URBAN LINKAGES) DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

Strategi dan model pengembangan wilayah selalu berkembang seiring dengan berkembangnya pengetahuan, teknologi informasi serta isu- isu kewilayahan yang mendorong terjadinya pergeseran pemikiran mengenai strategi pengembangan wilayah. Awalnya strategi dan model pengembangan wilayah yang berkembang lebih menekankan pada pengembangan wilayah berbasis urban (kota) dan berbasis rural (desa) yang dikenal dengan strategi pengembangan wilayah klasik. Dalam perkembangannya, strategi wilayah klasik ini mengalami kegagalan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini mendorong munculnya pemikiran baru mengenai strategi pengembangan wilayah alternatif atau kontemporer yang  berusaha memadukan kedua strategi klasik tersebut dan dikenal dengan strategi keterkaitan desa kota (rural urban linkages). Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan menganai paradigma strategi dan model pengembangan wilayah kontemporer, konsep keterkaitan desa kota dalam pengembangan wilayah, dan keterkaitan desa kota dalam pengembangan wilayah di Indonesia.

Paradigma Strategi dan Model Pengembangan Wilayah Kontemporer

Strategi dan model pengembangan wilayah yang lebih dulu berkembang adalah strategi pembangunan dari atas (development from above) dengan menekankan pengembangan pada wilayah urban (urban based) yang disebut strategi pusat pertumbuhan (growth pole). Dalam strategi ini, pusat pertumbuhan diharapkan dapat memberikan efek penetesan (trickle down effect) dan efek penyebaran (spread effect) pada wilayah hinterlandnya dan pedesaan melalui mekanisme hirarki perkotaan secara horizontal. Namun dalam prakteknya, seringkali yang terjadi pusat pertumbuhan melakukan  penghisapan sumber daya wilayah hinterland ke wilayah urban (backwash effect). Akibatnya, pusat pertumbuhan semakin berkembang pesat namun wilayah hinterland menjadi terbelakang dan tidak berkembang sehingga terjadi kesenjangan wilayah. Menanggapi hal tersebut, muncul strategi pengembangan wilayah populis yang merupakan pengembangan wilayah dari bawah (development from below) dengan menekankan pengembangan pada wilayah rural (rural based).

Berkembangnya dua strategi pengembangan wilayah ini menyebabkan terjadinya urban bias dan dikotomi pembangunan antara urban dan rural (Douglas, 1998). Urban bias terjadi karena masing-masing strategi memiliki pandangan yang berbeda dalam pengembangan wilayah. Menurut strategi urban growth, pembangunan di perkotaan merupakan kunci utama dalam pengembangan wilayah. Disisi lain, strategi populis menganggap kota merupakan mesin penghisap sumberdaya pedesaan sehingga perlu adanya pengembangan pedesaan untuk mencegah hal tersebut. Hal ini mendorong munculnya dikotomi desa kota yaitu suatu pola pikir yang memandang kota dan desa merupakan dua hal yang berbeda.   

Padahal, desa dan kota memiliki peran yang sama-sama penting  dan saling terkait satu sama lain dalam pengembangan wilayah.  Keterkaitan ini antara lain berupa realita bahwa penduduk desa merupakan konsumne barang dan jasa kota. Sementara itu, penduduk kota juga merupakan konsumen barang dan jasa hasil produksi desa (Lo Salih dan Douglas, 1981).

Berdasarkan pertimbangan hal tersebut, maka muncul paradigma baru sebagai alternatif strategi yang berusaha mencari keseimbangan kepentingan desa kota dalam pengembangan wilayah yang dikenal dengan keterkaitan desa kota (rural urban linkages). Dalam stretagi ini, kota dan desa tidak lagi dipandang sebagai dua hal yang terpisah, namun perlu adanya keterkaitan antara kota dan desa dalam pengembangan wilayah.  

 

Konsep Keterkaitan Desa Kota dalam Pengembangan Wilayah

Keterkaitan desa kota merupakan strategi pengembangan wilayah yang bersifat vertikal.  Hal ini berbeda dengan strategi growth pole yang menempatkan suatu core sebagai pusat pertumbuhan yang umumnya berada di urban dengan strategi efek penetesan secara horizontal. Strategi desa kota memandang desa dan kota memiliki peran dan kedudukan yang sama dalam pengembangan wilayah. dalam strategi ini, kota dan desa merupakan suatu kesatuan yang utuh sehingga dalam upaya pengembangan wilayah tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tidak dapat dipisahkannya desa dan kota dikarenakan antara desa dan kota terdapat keterkaitan dan saling membutuhkan satu sama lain.

Secara umum, keterkaitan desa kota jelas terlihat dari hubungan fungsional desa dan kota. Desa membutuhkan kota dalam pemasaran hasil produksi dan mendapatkan barang jasa yang tidak dapat disediakan di desa. Sedangkan kota membutuhkan hasil produksi dari desa untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduknya, sebagai bahan baku industri dan untuk mengoptimalkan fungsi kota sebagai pusat distribusi. Menurut Rondenelli (1985), keterkaitan  desa dan kota dapat ditinjau dari keterkaitan fisik (infrastruktur), ekonomi (aliran barang dan jasa), mobilitas penduduk (migrasi), teknologi, interaksi sosial, penyediaan pelayanan, politik, administrasi dan organisasi.

Kunci utama keberhasilan strategi keterkaitan desa kota adalah pengoptimalan peran dan fungsi kota dan desa dalam pengembangan wilayah. Kota memiliki peran sebagai market center (pusat pemasaran) hasil pertanian desal dan pendistribusian hasil pertanian ke wilayah lain. Peran kota sebagai market center tidak akan berhasil jika tidak ada dukungan hasil pertanian yang baik dari desa. Selain itu, kota juga sebagai penyedia barang dan jasa yang dibutuhkan desa untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Kota dapat tumbuh dengan adanya peningkatan pasokan hasil pertanian dan konsumsi dari desa dan desa dapat tumbuh dengan adanya dukungan market center, fasilitas serta barang jasa yang ada di kota.

Menurut Douglas (1998), keberhasilan strategi keterkaitan desa kota dipengaruhi 5 (lima) aliran (flows) antara desa dan kota yaitu manusia, produksi, komoditas, pendapatan dan infromasi. Dalam proses aliran ini dipengaruhi oleh 3 (tiga) hal yaitu struktur desa, fungsi dan peran kota serta intervensi kebijakan. Strategi keterkaitan desa kota dalam pengembangan wilayah dapat berhasil jika masing-masing desa dan kota memainkan peran dan fungsinya secara optimal dan dalamnya terdapat aliran yang lancar antara desa dan kota dengan didukung adanya intervensi kebijakan yang kuat.

 

Keterkaitan Desa Kota dalam Pengembangan Wilayah di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang telah menerapkan strategi keterkaitan desa kota dalam pengembangan wilayah. Hal ini didorong karena adanya kegagalan dalam pengimpelentasikan strategi growth pole dan populis sehingga memunculkan isu-isu pengembangan wilayah terutama terkait perkembangan desa dan kota. Isu – isu tersebut antara lain mengenai ketimpangan pembangunan desa kota, tingginya urban primacy, kurang sinergisnya keterkaitan desa dan kota dan meningkatnya kemiskinan di pedesaan dan perkotaan.

Strategi keterkaitan desa dan kota di Indonesia banyak dilakukan dengan pendekatan Top- Down. Konsep strategi yang pertama kali  muncul diprakarsai oleh Bappenas yang dikenal dengan PARUL (Proverty AlleviationRural Urban Linkages). PARUL merupakan strategi dengan pendekatan yang dipengaruhi oleh pasar atas pengembangan ekonomi lokal melalui kerjasama public –privat di bawah pengawasan pemerintah. Namun, dalam implementasinnya program ini dinilai kurang tidak berhasil karena kurangnya peran serta masyarakat dalam pengembangan desa kota. Kecenderungan yang terjadi adalah kuatnya peran sektor swasta dalam pengembangan wilayah karena kurangnya pengawasan pemerintah sehingga meskipun wilayah dapat tumbuh namun kesejahteraan masyarakat tidak terjadi karena hasil pembangunan hanya dapat dinikmati oleh beberapa kelompok saja.

Selain PARUL, pemerintah juga menerapkan konsep KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu). KAPET merupakan program pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah tertentu yang memiliki sumberdaya potensial dan memerlukan investasi besar. Program ini telah berjalan di beberapa wilayah, namun juga dinilai tidak berhasil karena yang terjadi bukan pengembangan desa kota melainkan hanya berupa relokasi industri yang justru tidak berkaitan dengan sumberdaya lokal sehingga terjadi foot loose industry.

Kurang berhasilnya penerapan program  PARUL maupun KAPET di Indonesia  jika dikaitkan dengan  karakteristik keterkaitan desa dan kota dapat disebabkan oleh tiga hal. Pertama, kurangnya pengotimalan peran dan fungsi desa dan kota. Kota dan desa telah memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Kota sebagai penyedia bahan baku dan pemasok hasil produksi untuk kota dan kota sebagai penerima pasokan, pendistribusi hasil produksi dan penyedia barang dan jasa untuk desa. Namun, seringkali yang terjadi adalah desa tidak mampu memeberikan pasokan bahan baku untuk kota karena kuantitas dan kualitas yang kurang. Disisi lain, seringkali kota tidak memiliki peran untuk proses produksi hasil pertanian desa karena adanya perkembangan industry yang berbeda dengan potensi desa. Selain itu juga kota kurang optimal dalam memberikan pelayanan barang dan jasa bagi desa.

Kedua, tidak tepatnya aliran keterkaitan desa dan kota. Jika dikaitkan dengan konsep aliran desa kota menurut Douglas (1985), di Indonesia, kasus yang seringkali terjadi adalah tidak adanya salah satu atau beberapa aliran keterkaitan desa dan kota tersebut, seperti aliran manusia dan komoditas. Terkait dengan aliran manusia, hal yang sering terjadi adalah  tidak adanya keseimbangan aliran penduduk desa dan kota. Sebagian penduduk desa melakukan mobilitas berupa  migrasi ke kota sebagai dampak dari kurang optimalnya fungsi dan peran desa untuk memberikan lapangan pekerjaan serta penghidupan yang layak bagi penduduknya. Akibatnya, tenaga kerja di kota menjadi berlimpah sedangkan di desa terjadi kekurangan tenaga kerja. Dari sisi aliran komoditas adalah tidak adanya aliran komoditas desa ke kota. Hal ini juga sebagai dampak dari kurang optimalnya peran dan fungsi desa kota. Hal yang sering terjadi di Indonesia adalah adanya pengembangan  industri di kota yang tidak terkait dengan komoditas bahan baku di desa sekitarnya. Akibatnya, desa tidak dapat mengalirkan hasil komoditas ke kota. Industri yang ada di kota menjadi footloose industry dan tidak memberikan efek perkembangan bagi wilayah desa.

Ketiga, kurangnya intervensi kebijakan dalam upaya mengkaitkan desa dan kota. Intervensi kebijakan keterkaitan desan dan kota menurut Lo Shalih dan Douglas dinilai dari empat hal yaitu jalan dan transportasi, listrik, komunikasi dan pelabuhan atau bandara. Masalah yang terjadi di Indonesia adalah kurangnya intervensi dalam penyediaan keempat hal tersebut terutama jalan dan transportasi yang merupakan aksesibilitas utama dalam mengkaitkan desa dan kota. Rendahnya aksesibilitas ini menyebabkan interaksi desa kota menjadi terhambat sehingga keduanya juga menjadi sulit untuk berkembang.

Strategi interaksi desa kota di Indonesia dapat berhasil jika ketiga hambatan tersebut dapat diatasi. Dengan adanya pengotimalan peran dan fungsi yang optimal baik desa maupun kota maka secara otomatis keterkaitan akan terbentuk dengan kuat karena apa yang dibutuhkan kota dapat dipenuhi dari kota da sebaliknya. Disamping itu, perlu adanya keseimbangan aliran desa dan kota terutama manusia dan komoditas. Dan hal yang paling penting adalah intervensi dalam peningkatan aksesibilitas desa dan kota di Indonesia.

 

Daftar Pustaka

Douglass, M. 1998.  A Regional Network Strategy For Reciprocal Rural-Urban Linkages: An Agenda For Policy Research With Reference To Indonesia. Third World Planning Review, 20 (1). pp. 1-25.

Lo, Shalih dan M. Douglass. 1981. “Rural-Urban Transformation in Asia” dalam Lo (ed.) Rural-Urban Relations and Regional Development.  Nagoya: Maruzen Asia. pp. 7-43.

Rondinelli, Denis A. and Kenneth Ruddle. 1985. Applied Method of Regional Analisis. Colorado: West View Press Inc.

By Yulistiani Julis